Jakarta, MNEWS.co.id – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, mengungkapkan tantangan demi tantangan yang harus dihadapi menuju industri 4.0. Selain ketersediaan sumber daya manusia, dari segi infrastruktur dan birokrasi industri masih banyak yang perlu dibenahi.
Pihaknya sudah lama mengusulkan kepada pemerintah terkait product sectors agar dapat mengembangkan inovasi, tidak hanya mengimpor bahan baku dari negara lain. Adhi juga menjelaskan perihal anggaran R&D (research and development) menjadi 2% dari total APBN. Ia menambahkan, regulasi di sektor industri khususnya industri bahan baku makanan dan minuman masih menyulitkan bagi pengusaha untuk berkembang. Padahal jika berpedoman pada UU No.3 Tahun 2014, pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran alur industri bahan baku.
“Kalau sekarang kan banyak diatur, sehingga kalau kita mau impor bahan baku susu yang 80% masih impor, itu kita harus minta rekomendasi pertanian. Dari pertanian prasyaratnya banyak, harus dinas ke dinas, dinas ke kabupaten kota, dinas ke provinsi, terus harus kerja sama dengan peternak, harus disahkan dinas lagi, seperti itu baru masuk ke pertanian, pelajari kalau sudah sesuai disetujui, kalau belum dikembalikan lagi, seperti itu. Lalu masuk ke perdagangan, baru keluar izinnya, dan sebagainya,” terang Adhi. Hal tersebut disampaikan Adhi usai menjadi narasumber dalam Media Workshop Food Ingredients Asia (Fi Asia) 2018 pada Rabu, (4/7/18).
Adhi berharap Indonesia bisa mencontoh Thailand. Thailand termasuk negara pengekspor makanan terbesar ke-13 di dunia. Thailand memiliki konsep industri 4.0 dalam melakukan inovasi, digitalisasi pemasaran dan promosi. Thailand juga menerapkan zero waste dalam pengolahan bahan makanan. Misalnya produk manisan buah, tidak hanya dagingnya yang bisa diolah tetapi juga bijinya yang bisa diproduksi jadi serat.
“Nah, di Thailand banyak industri semacam ini. Pemerintahnya khusus menyediakan area namanya klaster buah, jadi di daerah itu semua petaninya produksi buah, difasilitasi oleh pemerintah. Itu yang semestinya dikembangkan di Indonesia supaya hambatan sosial bisa dikurangi,” tambahnya.
Industri 4.0 juga terkait dengan integrasi industri hulu ke hilir. Ada sebagian yang belum menerapkan industri 4.0. Impor bukan menjadi masalah, malah bisa mengatasi pelemahan rupiah jika aktivitas impor dibarengi dengan inovasi untuk meningkatkan devisa.
Lebih lanjut Adhi mengatakan, petani harus bersatu untuk meningkatkan efisiensi produksi. Menurutnya petani masih banyak yang kerja sendiri-sendiri, belum mau saling bekerja sama.
“Tentunya petani kita ini masih banyak belum mau bersatu. Tidak apa-apa petani punya lahan kecil-kecil, tapi mau ngga digabung jadi satu dan tidak semua bekerja, dipercayakan sama manajemen petani misalnya. Dan mekanisasi. Kalau itu terjadi bagus, tapi balik lagi di Indonesia koordinasi adalah barang mewah,” tandasnya.
Beruntung, generasi milenial Indonesia termasuk yang paling kreatif dan sering mencoba hal-hal baru. Untuk industri makanan dan minuman, entry barrier-nya tidak terlalu besar sehingga pelaku UMKM bisa masuk apalagi ditunjang dengan ketersediaan berbagai informasi dan perkembangan industri bahan baku yang cukup masif.
“Bahan baku dasar masih banyak yang impor, misal susu 80%, garam 70%, terigu 100% impor. Kita perlu substitusi dengan produk lokal. Problem utama ada di industri hulu dan intermediate. Perkembangan industri butuh pengembangan. Hulu lebih mahal krn investasi lebih mahal, masalah sosial di daerah, masalah lahan dsb. Yang kedua, kurang insentif jd tidak menarik. Masih menggunakan industri ekstraksi dari luar, di Indonesia hanya branding. Industri intermediate harus lebih dipromosikan,” katanya.
Adhi menambahkan, tantangan di industri 4.0 meskipun volumenya kecil, tapi infrastruktur di produksinya harus bagus. Industri kecil juga bisa masuk ke industri 4.0. Sekarang ditunjang oleh logistik, tidak perlu berlebihan sewa gudang dan lain-lain. Tantangan lainnya di bahan baku yang masih impor. “Kita berusaha kombinasi dengan bahan baku lokal, misal menggunakan bumbu-bumbu lokal dan menyesuaikan selera lokal,” ujar Ketua GAPMMI yang telah menjabat sejak 2015.
“Industri 4.0 menurut saya mengejar bagaimana data konsumen dikombinasi supaya bisa memenuhi selera konsumen. Tantangannya di industri 4.0 meskipun volumenya kecil, tapi infrastruktur di processing ini harus bisa menjawab perubahan-perubahan dengan cepat. Satu line kalau bisa semua produknya bermacam-macam, yang berbasis sama bisa dipenuhi. Dengan volume kecil bisa mengejar harga pokok yang murah,” ujar Adhi.