Aneka kain ecoprinting dan shibori karya Elis El Hijaaz. Foto: MNEWS.
Aneka kain ecoprinting dan shibori karya Elis El Hijaaz. Foto: MNEWS.

Jakarta, MNEWS.co.id – Penuh warna dan corak yang tidak terprediksi. Itulah kesan awal saat melihat kain ecoprint El Hijaaz karya Elis yang dibentangkan saat pameran INACRAFT beberapa waktu lalu.

Elis Zulva Mastuti, perempuan kelahiran Tulungagung ini belum lama menekuni kerajinan kain shibori dan ecoprint. Dirinya belajar teknik ecoprint dan shibori dari berbagai pelatihan di Kediri, Sidoarjo, dan Surabaya, serta belajar secara online dari pembatik di Yogyakarta. Mulai menggeluti pembuatan kain dengan teknik khusus sejak 2 tahun lalu, Elis mengaku antusias dan terus semangat belajar agar bisa menghasilkan produk yang limited edition.

“Awalnya mulai tahun 2014 saya bikin baju muslim ala butik dari perca kain. Akhirnya, 2 tahun lalu ikut kurasi di Madiun dan lolos, saya berpikir supaya desainnya limited, harus bikin kain sendiri. Kalau batik kan masih ada yang sama. Akhirnya kepikiran, gimana ya kalau buat ecoprint,” kisah Elis kepada MNEWS saat ditemui di pameran INACRAFT 2019 di JCC Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Elis Zulva Mastuti membentangkan kain ecoprint hasil karyanya dalam brand El Hijaaz.
Foto: MNEWS.

Wanita berusia 44 tahun ini mengaku gemar dengan dunia fashion dan kriya sejak masih di bangku sekolah. Bahkan, sudah bisa membuat baju tanpa pola dan tas kantung sejak duduk di bangku SMP. Membanderol harga Rp 115 ribu untuk sehelai kain shibori, dan kisaran Rp 400 ribu hingga Rp 900 ribu untuk kain ecoprint, Elis bisa menjual rata-rata hingga 8 potong kain per hari.

Tidak hanya kain ecoprint dan shibori berukuran 2 meter yang ditawarkan Elis, tetapi juga sarung bantal shibori dalam 3 ukuran, masing-masing 40×40, 45×45 dan 50×50 cm seharga Rp 50 ribu. Semuanya merupakan hasil karyanya yang dibuat di workshop El Hijaaz, di Dusun Tambak Kembang, RT 003/RW 002, Tambakrejo, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur.

Uniknya Kain Ecoprint, Penuh Kejutan

Rata-rata, untuk membuat kain shibori dan ecoprint memerlukan waktu hingga 10 hari. Setiap harinya, Elis bisa menghasilkan hingga 4 gulung kain. Hal yang paling menarik adalah, hasil akhir dari setiap kain akan berbeda-beda dan tidak ada yang sama. Yang membedakan antara shibori dengan ecoprint adalah, shibori hanya bisa untuk katun, dengan teknik pewarnaan khusus menggunakan pewarna sintetis cenderung terang yang disebut juga dengan teknik ikat-lipat-tekan.

Sedangkan ecoprint benar-benar menggunakan bahan-bahan alami dengan warna cenderung lembut atau tidak mencolok, dan bisa diaplikasikan untuk berbagai jenis kain, dengan hasil akhir yang tidak terprediksi.

Biasanya, Elis menggunakan bahan yang mudah ditemukan di sekitar tempat tinggalnya, sehingga tidak memerlukan biaya untuk pewarnaan sama sekali. Beberapa bahan dari alam tersebut antara lain daun jati, yang paling banyak mengeluarkan warna, kemudian daun jarak, daun jambu biji, daun ketapang, daun mahoni, serta daun andong. Untuk kain yang digunakan, biasanya katun, katun ima dan santung.

Elis tertarik dengan ecoprint karena sifatnya yang ramah lingkungan, dan bahan alam yang selalu ada sehingga tidak ada kendala berarti untuk memperoleh bahan bakunya.  

Aneka sarung bantal shibori dari El Hijaaz. Foto: MNEWS.

“Saya tertarik dengan ecoprint karena ramah lingkungan, bahan alam jadi tidak kesulitan. Hasilnya limited, warnanya tidak terprediksi. Misterinya disitu. Shibori juga hampir mirip. Sejauh mana warna itu akan nembus ke kain, kan kita tidak tahu hasilnya sebelum dibuka. Hasilnya selalu berbeda-beda,” tandasnya.

Untuk warna-warna yang muncul pada sehelai kain ecoprint, biasanya warna alam yang cenderung gelap, misalkan warna coklat dari daun mahoni dan kulit kelapa, warna merah muda dari kayu secang, kuning dari daun mangga kuweni. Selain itu, Elis juga menggunakan kulit manggis, biji alpukat hingga kulit jengkol yang menghasilkan warna kehijauan.

Menurut Elis, kekayaan alam tropis Indonesia turut memperkaya jenis flora di seluruh Nusantara, dengan berbagai ciri dan keunikan pesona warna pada tekstur batang serta daunnya. Terinspirasi dari ragam kekayaan flora Nusantara ini, El Hijaaz mengembangkan desain kreatif dengan menampilkan diversifikasi bahan tekstil, memadukannya dengan teknik pewarnaan ecoprint.

“Ecoprint adalah teknik mencetak dan mewarnai dengan menggunakan bahan-bahan alami berbasis tumbuhan. Pewarnaan pada kain tekstil murni memakai bahan herbal dengan cara perebusan. Ini tidak menyebabkan kerusakan alam, bahkan melalui teknik ecoprint ini kita bisa belajar bagaimana Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam. Dengan ecoprint, membuat kita mengerti cara menghargai alam,” pungkas Elis sembari tersenyum ramah.

Kain ecoprint dan shibori karya Elis El Hijaaz. Foto: MNEWS.

Ia menambahkan, pewarnaan yang terlihat akan lebih kental kalau dijemur sampai kering. Dijemur dalam waktu satu hingga dua hari, setelah direbus dan dan melalui proses steam dengan menggunakan pake kayu bakar.

Dengan modal awal sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, Elis sudah bisa menghasilkan puluhan potongan kain berkualitas premium.

“Saya beli bahan bakunya saja. Saya benar-benar mengambil dari alam, memanfaatkan sampah dedaunan dan bahan alam lainnya sebelum benar-benar jadi sampah yang sudah tidak bisa didaur ulang,” tambahnya.

Wanita yang sudah mulai berbisnis busana muslim sejak 2004 ini awalnya sempat membuka kios fotokopi dan percetakan untuk cetak kartu nama, dan sebagainya. Kebetulan, sang suami memang memiliki keahlian disitu, sehingga Ia tidak mengalami kesulitan untuk mendesain produknya.

Saat ini, Elis masih berupaya memperluas pasarnya dengan berjualan secara offline di rumahnya, serta aktif mengikuti berbagai kegiatan dan pameran, juga berjualan secara online menggunakan akun media sosial zulvaelis