Proses diskusi membuat produk Sakombu Eco Basket yang melibatkan perajin lokal dan memberdayakan kaum perempuan. (Foto: Dok. Sakombu Eco Basket)

MNEWS.co.id – Hiruk-pikuk dunia modern dengan banyaknya produk sekali pakai turut memicu munculnya inovasi dari para pelaku ekonomi kreatif yang menghasilkan barang eco-friendly untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam menggunakan produk ramah lingkungan. 

Salah satunya adalah jenama lokal Sakombu Eco Basket yang hadir sebagai oase kesegaran di tengah maraknya pola hidup serba instan dan plastik dengan tak hanya menawarkan produk-produk ramah lingkungan, tapi juga menjadi wadah pemberdayaan perempuan.

Sakombu Eco Basket hadir sejak 2018 dan hingga saat ini sudah memiliki lebih dari 60 produk. Sekilas, produk Sakombu Eco Basket mungkin tidak sebanyak jenama lokal lainnya.

Namun, satu hal yang menarik perhatian adalah produk Sakombu Eco Basket terbuat dari serat alam Mansiang, yakni sejenis rumput liar atau gulma yang tumbuh di rawa-rawa. Serat alam tersebut diberdayakan masyarakat lokal untuk disulap menjadi anyaman.

Berawal dari situlah, Sakombu Eco Basket mengembangkan desain anyaman ini menjadi bervariasi dan lebih kekinian.

kombuSakombu Eco Basket (Foto: Kemenparekraf)

Dewi Febriana Syamri, selaku pendiri Sakombu Eco Basket berprinsip untuk memberi kesempatan hidup baru bagi tanaman-tanaman liar yang dianggap merugikan. Hal inilah yang akhirnya mendorong pelaku ekraf yang akrab disapa Dewi ini memanfaatkan serat alam yang disulap menjadi berbagai produk kerajinan bernilai lebih. 

Awal mula Dewi menciptakan produk kriya berupa tas anyaman sejak mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

“Secara personal saya suka kriya anyaman, dan saya ingin mengangkat kriya dari kampung halaman saya di Ranah Minang, Sumatra Barat yang kebetulan adalah kriya anyaman itu sendiri,” ungkap Dewi dilansir MNEWS.co.id dari laman Kemenparekraf. 

Proses pembuatan produk Sakombu dimulai dengan sederetan tahapan alami. Butuh waktu sembilan bulan untuk panen pertama serat mansiang. Kemudian dijemur di bawah matahari langsung selama beberapa hari, dan dipipihkan dengan cara diserut. Hal ini dilakukan agar serat mudah dianyam untuk dibuat tas maupun keranjang.

“Semakin detail produknya, makin lama waktu pembuatannya. Untuk satu tote bag besar misalnya, bisa membutuhkan waktu anyam kurang lebih 3 hari. Itu pun belum termasuk durasi pengeringan serat dan proses penyerutan, ya,” jelas Dewi.

Karena jumlah produk yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses pengerjaan tangan dengan pengrajin lokal terpilih, hal inilah yang membuat produk-produk Sakombu Eco Basket bukan menjadi produk massal.

Tentunya kehadiran Sakombu Eco Basket menjadi pilihan sempurna untuk tampil cantik tanpa merusak Bumi. Mengingat, sebagai produk eco friendly, 90% produk Sakombu merupakan anyaman mentah yang tidak mewarnai, alias hanya mengandalkan warna serat mansiang itu sendiri. Sedangkan, penggunaan warna sintetis saat ini hanya sekitar 10% dari keseluruhan proses produksi.

Dewi tidak hanya memasarkan produk Sakombu secara online melalui media sosial, tapi juga di beberapa offline store di Jakarta dan Bali. Sakombu Eco Basket juga kerap mendapatkan pesanan khusus untuk dipasarkan ke luar negeri, salah satunya ke Paris.

Tidak hanya mengusung prinsip berkelanjutan, Sakombu Eco Basket berupaya memberdayakan kelompok pengrajin perempuan yang terdiri ibu rumah tangga dengan taraf hidup sederhana. Hebatnya, sekelompok pengrajin tersebut berusia 50 tahun hingga hampir 80 tahun.

“Keahlian mereka dalam menganyam sayang jika tidak terus diberdayakan. Terlebih lagi, produk-produk ramah lingkungan ini juga harus terus dikembangkan dan dibanggakan,” ungkap Dewi.

Dewi mengaku jika dirinya turun langsung untuk mengunjungi pengrajin di pedalaman. Untuk membangun kedekatan emosional, Dewi sempat tinggal beberapa waktu di rumah pengrajin, melakukan kegiatan menganyam bersama, berdiskusi mengembangkan, memodifikasi sekaligus menciptakan desain-desain baru secara intens dan kekeluargaan.

Walau awalnya sulit untuk menyampaikan ide-ide baru ke tengah pengrajin yang terbiasa menganyam bentuk yang itu-itu saja. Namun, dengan terus memberi dorongan dan semangat, serta memberi referensi perkembangan anyaman, akhirnya ibu-ibu pengrajin tertarik untuk mencoba.

“Akhirnya, proses trial and error pun kami jalani bersama. Sehingga, sekarang sudah terhitung puluhan desain baru sudah kami ciptakan di bawah bendera Sakombu Eco Basket,” bangga Dewi.

Usaha dan kerja keras Sakombu Eco Basket pun mendapatkan pengakuan dari banyak pihak, salah satunya adalah mendapatkan Deureuham (Islamic Creative Economy Competition) pada 2019, penghargaan Good Design Indonesia (GDI) 2023 dari Kemendag RI, serta diikutkan dalam kontes Good Design Award di Jepang dan berhasil menjadi salah satu produk kriya Tanah Air yang mendapatkan penghargaan G-Mark GDA 2023.

Selain itu, Sakombu Eco Basket juga sudah pernah menjalin kolaborasi dengan jenama lokal lain. Salah satunya dengan jenama lokal Sejauh Mata Memandang (SMM).

Dalam kolaborasi tersebut, Sakombu Eco Basket turut serta sebagai aksesoris pelengkap SMM di Jakarta Fashion Week 2020 dan berhasil masuk dalam salah satu edisi pada majalah Harper’s Bazaar Indonesia.