Mengapresiasi karya Edo Adityo “Seribu Malaikat” di Galeri Nasional Indonesia. Foto: (doc/GNI-Jatiari)
Mengapresiasi karya Edo Adityo “Seribu Malaikat” di Galeri Nasional Indonesia. Foto: (doc/GNI-Jatiari)

Jakarta, MNEWS.co.id – Mereka bilang terbatas, kami bilang tanpa batas. Para penyandang disabilitas—dengan segala keterbatasan yang diklaim oleh masyarakat maupun disebutkan dalam undang-undang negara seperti pada UU No. 8 Tahun 2016, tidak lantas membuat sekat-sekat batasan bagi mereka untuk berkarya secara jujur. Karena keterbatasan fisik, intelektual, mental, sensorik, dan sebagainya, tidak akan mampu mematikan indera berkesenian yang akan terus menemukan celah untuk membahasakan dirinya kepada khalayak.

Masih kurangnya apresiasi secara jujur, terbuka dan membangun kepada para seniman penyandang disabilitas, dikarenakan apresiasi yang ada lebih ditujukan pada rasa ‘iba’ dan mengasihani sekat keterbatasan yang terlihat pada masyarakat umumnya, menciptakan ketimpangan yang menghambat rekan-rekan difabel. Padahal, berkesenian merupakan salah satu medium terapi sekaligus tempat melampiaskan segala pemikiran dan perasaan yang mungkin sulit tersampaikan melalui kemampuan inderawi yang mereka miliki.

Festival Bebas Batas yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berupaya mengedukasi masyarakat mengenai peranan rekan-rekan difabel yang tak ada bedanya dengan non difabel, sekaligus memberikan ruang berkarya, dan menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap karya seni para disabel/difabel.

Pemilihan tajuk “Pokok di Ambang Batas” berasal dari perspektif kurasi yang berangkat dari keyakinan bahwa ekspresi seniman difabel adalah vital dalam praktik bermasyarakat dan berekspresi, karena itu bertema “Pokok di Ambang Batas” (Vital in Margin) yang mengisyaratkan ada yang vital dalam ruang ambang batas. “Pokok (margin)” disini tidak diartikan sebagai yang pinggiran/luar, namun berkonotasi aktif dan progresif. 

Karya-karya para seniman disabilitas dari Borderless Art Museum NO–MA dalam Pameran
“Pokok di Ambang Batas” di Galeri Nasional Indonesia dalam rangka Festival Bebas Batas.
Foto: (doc/GNI-Jatiari)

Pameran ini menampilkan karya-karya dari 35 peserta hasil dari seleksi ‘open call’, juga berbagai karya dari sepuluh peserta undangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri: karya-karya koleksi Borderless Art Museum No-Ma Jepang, hasil workshop dari Kedutaan Spanyol di Indonesia, proyek seni yang didukung Institut Francais d’Indonenesie, proyek seni yang didukung British Council, plus karya-karya terseleksi dari lima Rumah Sakit Jiwa(RSJ) di Indonesia. 

Karya-karya yang ditampilkan sebagian besar meliputi karya dua dimensi, dari lukisan, fotografi, gambar (drawing), media campur (mixed media), hingga karya audio visual dan interaktif. Kesemua karya menghadirkan bentuk dan teknik yang beragam, dari bentuk konvensional hingga kontemporer.

Menurut kurator Sudjud Dartanto dan Hendromasto Prasetyo, dalam catatan kuratorialnya, ide karya seniman difabel membentang dari pengalaman pribadi, bahkan kritik dan penghayatan mereka atas kondisi sosial/budaya. Dengan mengabaikan berbagai hasil diagnosis dari otoritas medis, dapat dikatakan bahwa ekspresi mereka lugas, spontan, dan kuat.

“Pada titik kita sampai pada sebuah pertanyaaan diambang batas: apakah masih penting dan perlukah mereka menyandang predikat/cap/status/identitas sebagai kaum disabilitas/difabilitas ketika berada dalam ranah seni? Pertanyaan ini adalah sebuah refleksi kurasi sekaligus kritik atas wacana normalitas,” tutupnya.

Pameran Bebas Batas bisa disimak mulai hari ini hingga 29 Oktober mendatang, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.