Hidangan Rendang. Foto: google.com
Hidangan Rendang. Foto: google.com

Jakarta, MNEWS.co.id – Rendang, jadi salah satu hidangan yang tak boleh ketinggalan saat hari raya. Selain memiliki cita rasa khas dan kerap dihidangkan di acara-acara spesial, kita juga dapat menjumpai rendang sebagai lauk di rumah makan Padang. Namun faktanya, rendang yang biasa diklaim sebagai makanan Padang ini adalah masakan tradisional khas Minangkabau.

Asal-Usul Rendang

Rendang atau yang biasa disebut ‘randang’ berasal dari kata ‘marandang’, yaitu proses mengolah lauk berbahan dasar santan dengan memasak hingga kandungan airnya di dalamnya habis dan menjadi kering. Jadi, ‘randang’ artinya olahan masakan yang kering tanpa mengandung air.

Secara umum, rendang terbagi dua yaitu randang kering dan randang basah. Randang kering, adalah randang yang sudah berwarna coklat kehitaman, sedangkan randang basah adalah randang yang masih berwarna merah kecoklatan.

Di Balik Pembuatan Rendang

Pembuatan rendang menyerupai cara untuk mengawetkan makanan. Proses pengawetan dilakukan secara tradisional melalui proses pemanasan yang berulang-ulang. Semakin kering suatu randang menjadikannya tahan lebih lama.

Pembuatan Rendang
Pembuatan rendang dengan menggunakan kayu bakar. Foto: (doc/BPNB Sumbar)

Masyarakat Minangkabau pada zaman dahulu memasak rendang di atas api yang sangat kecil atau disebut juga api sangai, sampai kering. Proses ini dilakukan secara tradisional, dimasak di atas tungku menggunakan kayu bakar. Awalnya dimasak dengan api besar, lalu dilanjutkan dengan menggunakan api sangai yang berasal dari pembakaran sabuk kelapa. Proses ini bisa berulang sampai beberapa kali hingga bahan masakan mengering dan menghasilkan rendang.

Dilansir dari BPNB Sumatera Barat, dalam proses memasak rendang ada tiga tahapan yang harus dilalui yakni: ‘Gulai’, olahan masakan berbahan santan bercampur bumbu yang masih banyak kandungan airnya; ‘Kalio’, olahan masakan berbahan santan bercampur bumbu yang kandungan airnya sudah sangat berkurang sehingga kuah yang dihasilkan lebih kental dari gulai dan sudah mengeluarkan minyak dari santan yang dimasak; dan ‘Randang’, merupakan kalio yang terus dimasak sampai kering.

Filosofi Rendang

Rendang digunakan oleh Masyarakat Minangkabau sebagai semacam simbol. Pertama, rendang sebagai sajian dalam upacara adat yang wajib ada dalam setiap pelaksanaan perhelatan atau perayaan seperti kelahiran sampai pada kematian. Kedua, rendang sebagai panahan ulak yaitu sebagai persediaan makanan untuk menyuguhkan tamu yang datang sehingga tuan rumah tidak dianggap sebagai orang yang kekurangan. Ketiga, rendang sebagai sajian sehari-hari dan rendang sebagai oleh-oleh atau bekal di perjalanan untuk kerabat yang sedang bepergian atau merantau.

Walau sekarang rendang sudah bisa ditemukan dalam banyak jenis, namun rendang yang paling utama adalah berbahan dasar daging. Rendang memiliki empat bahan pokok, yakni daging, kelapa, cabe dan bumbu yang masing-masing bahan memiliki fungsi yang berbeda menurut masyarakat Minangkabau yakni: Daging, melambangkan ‘ninik mamak’ dan ‘bundo kanduang’ yang akan memberikan kemakmuran kepada anak kemenakan dan anak pisang. Kelapa, merupakan lambang cerdik pandai, yakni kaum intelektual yang akan menjadi perekat pada kelompok individu. Cabe, lambang alim ulama yang pedas dan tegas untuk mengajarkan syarak dan agama. Bumbu, lambang setiap individu atau kelompok dalam kehidupan dan merupakan unsur yang penting dalam hidup kebersamaan dalam suatu masyarakat.

Rendang ala Industri Rumahan

Kini, banyak pelaku UMKM yang terjun di usaha kuliner khususnya rendang khas Minangkabau. Karena rasanya yang lezat dan sifatnya yang tahan lama, rendang bisa dikemas dalam toples atau disajikan dalam kemasan plastik tanpa bahan pengawet tahan hingga berbulan-bulan. Beberapa pelaku UMKM yang menekuni bisnis rendang pun menggunakan cara yang serupa tapi tak sama dalam mengolah rendang.

Weni misalnya, wanita paruh baya kelahiran Sumatera Barat ini memang memproduksi rendang langsung dari Payakumbuh. Per harinya Ia bisa menghasilkan sekitar 100 bungkus, yang dikemas dan dipasarkan di Jakarta. Varian produknya tidak hanya rendang daging, tapi juga rendang paru dan rendang telur. Produk rendang miliknya berbentuk suwiran, dan sudah diekspor hingga ke negeri tetangga, Singapura.

Weni Rendang Kayu Bakar
Weni dan produk rendangnya yang diolah dengan kayu bakar. Foto: (doc/MNEWS)

Dari teknik memasaknya, Weni masih menggunakan metode tradisional yakni memasak rendang di tungku kayu bakar selama berjam-jam hingga santan mengering dan bentuknya menyerupai abon. Ia mengatakan, kekhasan citarasa rendang berasal dari aroma tungku kayu bakar selama proses memasak yang memperkaya bumbu dari rendang itu sendiri.

Sedangkan Nani Kemal dari Kelompok Rendang Rumah Mama, memproduksi rendang di Bogor dalam bentuk potongan. Ia bersama dengan timnya memproduksi sendiri rendang tersebut di rumah, dan mengambil bahan baku daging sapi dari peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Wanita kelahiran Solok, Sumatera Barat ini juga menyebutkan bahwa produk rendangnya masih menggunakan resep asli Minang, meski dalam proses memasaknya menggunakan kompor gas, bukan kayu bakar. Hal ini berkenaan dengan kepraktisan dan ketepatan dalam mengatur besar kecilnya api saat memasak rendang.

Nani Kemal
Nani Kemal memberikan tester produk rendangnya kepada pengunjung saat event UMKM.
Foto: (doc/MNEWS)

Secara kasat mata, rendang yang diolah dengan kayu bakar dan rendang yang diolah dengan kompor gas tidak menampakkan perbedaan yang signifikan. Hanya saja, ada perbedaan dari segi aroma. Pasalnya, rendang yang diolah dengan kayu bakar memiliki aroma asap yang lebih kaya dan nikmat, sedangkan rendang yang diolah dengan kompor gas hanya mengandalkan komposisi bumbu untuk memperkuat aromanya.

Sebenarnya, tidak masalah membuat rendang dengan kayu bakar ataupun kompor gas, karena tekstur dan rasa yang dihasilkan tetap sama. Kembali ke soal selera, penikmat rendang bisa memilih cara memasak mana yang paling sesuai dengan lidah.