Wajit Asli Cililin “Cap Potret” Hj. Siti Romlah. (Foto: wisatabdg.com)

MNEWS.co.id – Wajit Cililin merupakan penganan tradisional khas Sunda dengan cerita historis yang melegenda hingga saat ini.

Camilan tradisional ini biasanya disajikan pada acara-acara khusus, misalnya nikahan atau saat perayaan hari raya seperti Lebaran. 

Wajit Cililin diolah dengan menggunakan bahan baku beras ketan, gula merah, dan kelapa yang dimasak menjadi satu.

Butuh perjuangan dari sosok Hj. Siti Romlah sebagai perintis penganan wajit dengan jenama Cap Potret.

Sejarah makanan wajit ini diceritakan oleh Samsul Maarif, penerus keempat dari Wajit Asli Cililin “Cap Potret” Hj. Siti Romlah.

Dikutip dari text-id.123dok.com, Juwita sebagai pembuat Wajit pertama di Cililin mulai menurunkan seluruh pengetahuan tentang Wajit serta resep-resep rahasianya kepada Irah, putrinya yang baru berumur sepuluh tahun. 

Walaupun Irah baru berumur sepuluh tahun, namun Ia sangat menekuni atau mempelajari Wajit Asli Cililin ini dengan sangat terampil.

Menurut Samsul, dulu Juwita dan Uti mendapatkan intimidasi berupa teguran langsung oleh kolonial Belanda untuk memproduksi wajit Cililin lalu dibagikan kepada kaum elit.

Pada masa tersebut, kalangan menak (orang terhormat/bangsawan/ningrat/priayi) dan pejabat kolonial Belanda sudah mengetahui mengenai wajit buatan Juwita dan Uti. Mereka juga sangat menyukai produk wajit Cililin.

Pada masa kolonial Belanda, mereka mengeluarkan aturan bahwa wajit buatan Juwita dan Uti hanya khusus diproduksi dan dibagikan ke kalangan menak dan pejabat kolonial Belanda.

Seiring berjalannya waktu, Irah yang sudah mengenal dan mulai memahami pengetahuan tentang membuat Wajit menunjukkan bakat dan ketertarikannya dalam usaha pembuatan wajit. 

Irah terus mendalami seluk-beluk pembuatan Wajit dari ibunya dan terus belajar bagaimana cara menghasilkan Wajit yang bermutu tinggi yang akan disukai orang sebagai produk khas dari Cililin. 

Pada tahun 1936, Irah membuat inovasi baru dengan memulai usaha wajit. Irah mulai memperluas penjualannya ke masyarakat kalangan bawah sampai kalangan atas yang awalnya Wajit Asli Cililin ini hanya bisa di konsumsi oleh kalangan atas atau kalangan menak. 

Tanpa diduga, ternyata konsumen dari Cililin maupun dari luar Cililin sangat menyukai Wajit Ciliin yang diproduksi oleh Irah. 

Untuk memudahkan konsumen, Irah memberi nama “Wajit Asli” bagi produknya. Sejak saat itulah wajit Cililin dikenal juga dengan sebutan “Wajit Asli”.

Meskipun sempat mengalami masa sulit, terutama pada masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, perusahaan Irah tetap berkembang walaupun lambat. 

Bahkan dari hasil usahanya tersebut, pada tahun 1950 Irah bisa menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1951 Irah kembali dari tanah suci dan berganti nama menjadi Siti Romlah, kemudian menjalankan kembali perusahaan wajitnya yang sempat terhenti. 

Sejak itulah nama “Wajit Asli” berubah menjadi Wajit Asli “Cap Potret” Hj. Siti Romlah.

Wajit Cililin “Cap Potret” menjadi bukti nyata kisah perjalanan usaha penganan tradisional khas daerah yang keberadaannya hadir memberikan terobosan baru dalam mengembangkan warisan makanan hingga puluhan tahun lamanya.

Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto bahkan memberikan penghargaan Upakarti kepada Irah melalui usaha wajik Cililin miliknya karena dianggap telah berjasa di bidang usaha kecil dan menengah. 

Wajit Asli “Cap Potret” Hj. Siti Romlah dilanjutkan oleh Ramli, generasi ketiga yang merupakan ayah dari Samsul Maarif,  bersama istrinya bernama Nani Hasanah dari tahun 1995 hingga 2013.

Hingga sekarang, ilmu pengolahan wajit diturunkan dan diregenerasi kepada Samsul Maarif sebagai generasi keempat dari usaha Wajit Asli “Cap Potret” Hj. Siti Romlah. 

Samsul mendapat titipan amanah agar terus melanjutkan usaha keluarga ini dan tetap berinovasi dalam berjualan  wajit Cililin.

Menurut Samsul, penganan Wajit Cililin ini sudah menjadi identitas dari daerahnya yang harus terus dilestarikan dan menjadi amanah baginya untuk meneruskan serta mewariskan usaha Wajit Asli “Cap Potret” Hj. Siti Romlah ke generasi-generasi berikutnya.