Ilustrasi UMKM Perempuan. (Foto: Republika)

Jakarta, MNEWS.co.id – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Thomas Dewaranu mengatakan pemerintah perlu mempermudah transformasi digital usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) milik perempuan. Hal ini untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pemulihan ekonomi dari dampak masa pandemi.

“Digitalisasi atau penggunaan internet dalam transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pengusaha UMKM tetap dapat menjalankan usahanya. Peluang pengembangan usaha secara digital dapat dilihat dari laporan Google, Temasek, dan Bain & Company tahun 2021 yang menyatakan bahwa sebanyak 28 persen pedagang di pasar digital mengatakan bahwa mereka tidak akan mampu bertahan di pandemi apabila tidak memanfaatkan platform digital,” kata Thomas.

Thomas merekomendasikan Kementerian Koperasi dan UKM berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik untuk membuat data UMKM berbasis gender yang diperbaharui secara berkala untuk menjadi dasar perumusan kebijakan strategis bagi pelaku UMKM perempuan.

“Database UMKM yang transparan, komprehensif, terpilah berdasarkan gender akan membantu pembuat kebijakan merancang intervensi yang diperlukan untuk membantu usaha mikro milik perempuan,” ujarnya.

Ketika data tersedia untuk publik, pemangku kepentingan non-pemerintah juga diharapkan dapat mengambil inisiatif yang lebih terinformasi untuk mendukung usaha mikro milik perempuan.

Ia mengharapkan usaha mikro yang rentan, termasuk pengusaha perempuan, mesti diprioritaskan untuk diberi pelatihan, khususnya pelaku usaha yang sama sekali belum menggunakan platform e-commerce.

“Pemerintah perlu memperbanyak program pelatihan literasi digital dan keuangan karena masih banyak wirausaha perempuan yang memiliki pengetahuan terbatas tentang pemanfaatan teknologi. Membantu wirausaha perempuan memanfaatkan teknologi, dapat membuka akses pada pasar yang lebih luas dan kemudahan dalam mendapatkan bahan baku,” tambah Thomas.

Pemerintah juga perlu mendukung usaha digitalisasi mandiri dengan mengurangi hambatan bagi bisnis online dengan sumber daya terbatas. Melalui revisi Permendag 50 Tahun 2020 yang mengharuskan penjual online memiliki izin.

“Belum semua usaha mikro menyadari kewajiban perizinan ini. Ada yang menganggap pengurusannya sebagai proses yang panjang dan mahal sehingga tertutup peluang mereka untuk memasuki pasar digital atau bahkan mendorong mereka menggunakan platform yang kurang aman,” pungkasnya.