Tampilan produk KeBu Keripik Pisang. (Foto: dok. Kebu Keripik Pisang)

Jakarta, MNEWS.co.id – Pisang merupakan salah satu buah yang bisa diolah menjadi beberapa olahan dan salah satu jenis olahan yang paling banyak peminat adalah keripik pisang. Keripik pisang yang dijual di pasaran umumnya hanya berasa gurih dan manis, tapi untuk yang satu ini berbeda dari yang lain, yaitu keripik pisang tanpa bahan sintetis.

Sri Hastuti, pelaku UMKM asal Sleman, Yogyakarta, berinovasi menghadirkan camilan keripik pisang tanpa bahan tambahan pangan sintetis dengan jenama KeBu.

Ide membuka usaha sendiri berasal dari keresahan Tuti saat kesulitan menemukan camilan yang tidak mengandung bahan sintetis. Hal ini karena sang anak memiliki alergi terhadap pemanis, pewarna, dan pengawet pangan sintetis.

Oleh karena itu, akhirnya Tuti pun membuat brand penganan ringan (snack) yang tidak  mengandung bahan tambahan sintetis dan terciptalah KeBu keripik pisang. Menurutnya, saat ini penganan ringan yang berbahan alami dan aman untuk anak itu masih sangat terbatas.

“Nah, karena peluang yang ada, jadi saya berpikir masih terbuka pasar untuk konsumen yang membutuhkan snack berbahan alami yang bisa dikonsumsi oleh penderita alergi seperti anak saya,” kata Tuti kepada M-News.

Keripik pisang KeBu sendiri menggunakan bahan baku yang didapatkan langsung dari perkebunan para petani di sekitar wilayah Gunung Kidul, Bantul, dan Sleman. Untuk bumbu cokelat, Tuti langsung memasok langsung dari petani kakao yang ada di Gunung Kidul, sementara bumbu serta rempah diperolehnya dari pedagang tradisional.

Ia menjelaskan, semua bahan baku yang digunakan dalam produknya adalah 100 persen alami tanpa bahan sintetis atau serbuk bumbu tabur instan.  Selain mengedepankan kualitas produk agar tetap higienis dan aman, melalui usahanya Tuti juga ingin memberdayakan petani lokal yang ada di sekitar lokasi produksi yakni di Rejosari, Jogotirto, Berbah, hingga Sleman, Yogyakarta.

Untuk proses produksi, selama masa pandemi Tuti bisa menjual produknya hingga 100 pack per hari dibantu oleh dua orang karyawan. Keripik pisang KeBu menggunakan sistem first in first out (FIFO) yakni proses pengolahan bahan baku langsung menjadi produk untuk dijual sesegera mungkin, sehingga Ia tidak menyisakan bahan baku dalam waktu lama dan setelahnya langsung dikemas menggunakan plastik kedap udara. Produk KeBu sendiri bisa bertahan selama 4-5 bulan dalam kondisi kedap udara dan  ditempatkan di ruangan yang tidak terpapar sinar matahari langsung.

Salah satu kendala yang dialami Tuti adalah mengedukasi kepada konsumen bahwa produknya berbeda dengan para kompetitor yang sejenis. Selain itu, selama masa pandemi Tuti juga merasakan dampak yang sangat signifikan yakni anjloknya penjualan produknya secara offline. Hal tersebut disebabkan karena masa pandemi mempengaruhi kebijakan pemerintah yang mengakibatkan minimnya wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Sehingga otomatis mengakibatkan daya beli masyarakat menurun khususnya di sektor kuliner berkonsep oleh-oleh dan makanan ringan .

Untuk mengatasi hal tersebut, Tuti mengalihkan penjualan offline ke pemasaran secara online. Sri menggunakan media sosial seperti Instagram, Facebook, hingga marketplace untuk ajang pemasaran dan promosi.

Ke depannya, Ia mengakui ingin fokus membangun dan mengembangkan pasar secara online terlebih dahulu untuk menggaet calon konsumen yang lebih banyak. Setelah target pasar secara online sudah meningkat, Tuti berharap dapat menjadikan KeBu sebagai pilihan konsumen yang ingin ngemil enak, tetapi tetap aman dan sehat.