Karya Sunaryo,
Karya Sunaryo, "Sejuta Mata". Foto: Galnas.

Jakarta, MNEWS.co.id – KONTRAKSI menjadi tema yang dipilih oleh tim Kurator Galeri Nasional Indonesia. Pameran yang diadakan kali ini tidak menitikberatkan pada keterwakilan suatu wilayah, tetapi kemampuan para perupa Indonesia yang diwakili hasil karyanya.

Pameran Seni Rupa Nusantara “KONTRAKSI: Pascatradisionalisme” menampilkan 55 karya dari 55 seniman yang diperoleh melalui mekanisme seleksi yang cukup ketat. Dipaparkan oleh tim Kurator Galeri Nasional Indonesia: Asikin Hasan, Sudjud Dartanto, Suwarno Wisetrotomo, Bayu Genia Krishbie, dan Teguh Margono, istilah kontraksi (contraction) dalam Kamus Oxford diartikan sebagai ‘the process of shortening a word by combination or elision’ (proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan).

‘KONTRAKSI’ dalam pameran ini, menurut tim kurator, merupakan sebuah pergulatan luar biasa, sesuatu tanda dari berbagai proses kombinasi, dan dari pergulatan itu memungkinkan lahirnya tanda baru. Kelahiran tanda baru akan terus berulang-ulang mengikuti hukum alam sepanjang masa.

Karya Nyoman Erawan, “Tropical Light”. Foto: Galnas.

Seiring dengan pemikiran postmodernisme yang memandang karya seni sebagai sebuah teks yang teranyam dengan teks-teks lainnya, maka menarik kiranya untuk melihat kembali kaitan gagasan penciptaan karya masa kini dengan gagasan/ide/pemikiran tradisional yang sesungguhnya, dalam keyakinan tim kurator: terus berkembang.

Tradisionalisme di Indonesia berjalan dengan laju perkembangan modernisme sebagai negara-bangsa poskolonial, walau keduanya berbeda konsep, namun pada praktik sosial kulturalnya bercampur baur membentuk rangkaian gagasan dan praktik yang tak terhingga.

Konteks “Pascatradisionalisme” yang dimaksud tim kurator dalam pameran ini mengisyaratkan kesadaran untuk tidak terjebak pada ‘keadiluhungan’ dan kolektivisme sempit, alasannya bahwa yang nonadiluhung pun punya derajat sama dalam ranah seni kontemporer.

Selain itu, dalam kesadaran pascatradisionalisme: seniman adalah agen yang bebas berkreasi, menafsir tradisi, dan berempati dalam semangat kolektivisme baru yang memiliki ciri emansipatif (membebaskan) dan inklusif (terbuka atas keragaman) di tengah era nirsekat (globalisasi) sekarang ini. Keseluruhan karya-karya yang ditampilkan menunjukkan eksplorasi media yang kaya, di antaranya lukisan, patung, grafis, batik, dan instalasi. Karya-karya yang saling berkontraksi ini bisa disimak mulai 23 April hingga 12 Mei 2019 di Gedung A, B, dan D Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

Karya Nindityo Adipurnomo, “Selera Cowok”. Foto: Galnas.

Kepala Galeri Nasional, Pustanto, berharap Pameran Seni Rupa Nusantara “KONTRAKSI: Pascatradisionalisme” ini mampu memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya informasi atau pengetahuan terkait seni rupa, mengingat pameran ini juga diselenggarakan bertepatan untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional.

“Selain itu, pembukaan pameran pada 23 April bertepatan dengan tanggal wafatnya Raden Saleh yang saat ini sedang dalam usulan rancangan sebagai tanggal peringatan Hari Seni Rupa Nasional. Karena itu, Pameran Seni Rupa Nusantara kali ini diharapkan sebagai tanda dukungan Galeri Nasional Indonesia terhadap rancangan Hari Seni Rupa Nasional tersebut,” ungkapnya.

Pameran ini juga diharapkan dapat memunculkan inspirasi dan motivasi untuk berkarya bagi para perupa dan juga publik luas yang mengapresiasi pameran ini. Diharapkan publik dapat mengenal lebih dekat tokoh-tokoh beserta karya para perupa Indonesia yang tak kalah dengan para perupa luar negeri, baik dari segi kedalaman konsep maupun artistik visualnya. Selain itu, pameran ini juga berperan sebagai sarana wisata edukasi kultural yang mampu menarik perhatian publik dalam negeri maupun mancanegara.

“Yang tak kalah penting, diharapkan pameran ini mampu mengisi titik-titik penting perkembangan seni rupa Indonesia sekaligus mendorong perkembangan tersebut demi kemajuan seni rupa Indonesia,” pungkas Pustanto.