Photo by Blake Wisz on Unsplash.
Photo by Blake Wisz on Unsplash.

Jakarta, MNEWS.co.id – Pemerintah perlu mendorong dan mengefektifkan perlindungan atas data pribadi. Di saat yang bersamaan, pemerintah juga terus menggalakan transaksi keuangan digital dan mendorong terwujudnya cashless society di mana peredaran uang secara fisik dibatasi. Namun minimnya penegakan hukum atas kasus penyalahgunaan data pribadi juga menjadi hambatan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, RUU Perlindungan Data Pribadi harus segera difinalisasikan. Urgensi perlindungan data pribadi di era globalisasi seperti sekarang ini merupakan hal yang sangat penting mengingat informasi dapat dengan mudah diakses, disimpan dan disebarkan oleh siapapun. Kemajuan dalam hal teknologi tentunya membawa dampak positif, namun di sisi lain, ini juga membuka ruang lebar untuk penyalahgunaan data pribadi.

“Namun pengesahan RUU ini juga tidak akan efektif kalau tidak diikuti oleh adanya penegakan hukum yang konkret untuk menimbulkan efek jera dan juga menjaga ekosistem bisnis supaya kondusif. Pengesahan RUU ini juga idealnya harus melihat semua aspek yang berkaitan dengan proteksi data pribadi masyarakat,” terang Galuh dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Perlindungan data ini memang sudah diatur diantaranya dalam 30 regulasi di Indonesia. Namun RUU ini harus menjadi tiang utama peraturan yang mengelola dan menertibkan hal terkait pengamanan data pribadi dari dasar hingga puncak, seperti dalam hal mekanisme jika terjadi kebocoran data (bagaimana cara melapor dan kemana harus melapor) dan juga tindakan hukum yang jelas bagi pihak yang membocorkan data pribadi tersebut.

Kehadiran lembaga pinjaman berbasis online lewat teknologi finansial (tekfin) saat ini semakin menambah urgensi pentingnya perlindungan terhadap data pribadi. Kehadiran tekfin yang seharusnya bisa menjadi alternatif masyarakat dalam mengakses kebutuhan finansial justru tercemar karena adanya kasus-kasus yang mengatasnamakan/mengakui perusahaannya sebagai perusaahaan tekfin, padahal basis usaha mereka sangat erat kaitannya dengan praktik pinjaman yang menarik bunga tinggi. Kebanyakan pinjaman berbasis online ini bergerak di jasa peer-to-peer lending (P2P Lending), beroperasi secara ilegal dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Galuh mengungkapkan, praktek pinjaman-pinjaman berbasis online tersebut sangat rawan terhadap praktik jual beli data pribadi. Selain karena mudahnya peminjam memberikan data pribadinya supaya mendapatkan pinjaman, masyarakat juga belum mendapatkan edukasi yang memadai mengenai pentingnya perlindungan atas data pribadi.

“Kondisi ini diperparah dengan munculnya cara-cara penagihan hutang yang memungkinkan perusahaan mengakses data pribadi si peminjam untuk menagih hutang lewat kerabat, teman, maupun kolega yang terdapat dalam kontak-kontak tersebut. Buntutnya, hal ini dapat berakhir pada ancaman dan kekerasan kepada si peminjam,” jelasnya lagi.

Meski OJK sudah melarang penyelenggara pinjaman untuk mengakses kontak dan informasi pribadi peminjam, namun peraturan tersebut terbatas hanya untuk mengatur para perusahaan yang sudah terdaftar secara legal. Faktanya, kebanyakan penyalahgunaan data justru dilakukan oleh perusahan-perusahaan yang tidak terdaftar sehingga OJK tidak mempunyai kewenangan untuk menindaklanjuti.

Kurangnya penegakan hukum yang jelas salah satunya di kebocoran data pinjaman berbasis online ilegal inilah yang dapat dipertimbangkan dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Solusi terhadap permasalahan perlindungan data pinjaman online baik legal maupun ilegal dapat dijabarkan dengan ketentuan yang jelas. Di satu sisi, edukasi terhadap masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan data pribadi juga penting untuk dilakukan.