Ilustrasi. Foto: Iamwire.
Ilustrasi. Foto: Iamwire.

Jakarta, MNEWS.co.id – Tren bisnis e-commerce dan financial technology ditengarai akan semakin berkembang di tahun 2019. Sebab, bisnis digital tidak akan sepi dari investor.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan, persaingan antar e-commerce di Indonesia Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Shopee akan semakin ketat.

Untuk e-commerce, menurutnya persaingan antara platform besar seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Shopee akan semakin ketat. Oleh karenanya, ia memproyeksikan peningkatan jumlah platform e-commerce tidak akan signifikan ke depan.

Berdasarkan data iPrice, Tokopedia dan Bukalapak yang menjadi jawara di Indonesia berada di peringkat 3 dan 4 sebagai e-commerce dengan pengunjung desktop dan mobile web terbanyak di Asia Tenggara. Keduanya mendekati pemain regional seperti Lazada dan Shopee masih bertengger di posisi 1 dan 2.

Menurut Bhima, kunci bagi e-commerce agar bisa bersaing adalah suntikan modal yang besar. Tambahan modal ini penting untuk meningkatkan promosi.

“Total transaksi e-commerce pada 2019 diperkirakan tembus Rp 120 triliun,” kata Bhima dilansir dari Katadata.

Menariknya, Ia memperkirakan kinerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berjualan di e-commerce juga akan meningkat signifikan. Indikasinya, pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2018, 12 Desember lalu, lembaga riset pasar Nielsen Indonesia memperkirakan, jumlah pembelian produk UMKM lokal mencapai 46% atau Rp 3,1 triliun dari total Rp 6,8 triliun.

Pertumbuhan bisnis belanja daring di Indonesia sejalan dengan yang terjadi di Asia Tenggara. Riset Google Temasek menunjukkan bahwa nilai transaksi (Gross Merchandise Value/GMV) e-commerce di kawasan Asia Tenggara bisa mencapai US$ 23,2 miliar atau Rp 335 triliun pada 2018.

Tercatat, laju pertumbuhan majemuk tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) e-commerce naik 62% dari US$ 5,5 miliar pada 2015. Saat itu, jumlah transaksi e-commerce regional nilainya diproyeksi mencapai US$ 102 miliar atau Rp 1.469 triliun.

Sementara fintech, khususnya pinjam-meminjam (lending), menurut Bhima akan semakin menarik minat perbankan untuk berkolaborasi. “Bagi bank BUKU I dan II, tidak ada jalan lain kecuali berkolaborasi. Sementara BUKU III dan IV dengan modal yang besar akan membuat fintech versi bank,” ujarnya.

Pernyataan Bhima didukung oleh data lansiran DailySocial.id. Dalam Fintech Report 2018, DailySocial.id mencatat subsektor yang paling diminati industri adalah fintech lending, baik yang berbentuk peer to peer lending maupun payday cash loan.

Dari sekitar $182,3 juta pendanaan yang diumumkan untuk startup fintech tahun ini, 57% terkait subsektor lending. “Tahun ini platform peer-to-peer lending menjadi primadona yang menyita perhatian. Pertumbuhannya sangat pesat dan telah menyalurkan lebih dari Rp 13 triliun dana masyarakat,” ujar Amir Karimuddin, Editor-in-chief DailySocial.id Business, beberapa waktu lalu.

Hanya, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait bunga dan prosedur penagihan perlu diperketat. Begitu pun pengawasan terhadap fintech lending ilegal perlu ditingkatkan.

Selain subsektor lending, fintech pembayaran seperti TCash, Go-Pay, dan OVO masih akan tumbuh pesat. Utamanya, layanan menggunakan teknologi kode Quick Response (QR) menurutnya akan menjadi tren ke depan. “Tren pembayaran dengan kode QR akan dilakukan oleh pemain baru khususnya dari Tiongkok seperti Alipay dan Wechat Pay,” ujar Bhima lagi.

Di luar itu itu, ia memperkirakan fintech jenis insurtech dan wealth management juga akan berkembang. Sebab, ia melihat peluang bagi kedua jenis fintech ini cukup besar mengingat masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki asuransi.

Sumber: Katadata