Photo by Burst on Pexels.
Photo by Burst on Pexels.

Jakarta, MNEWS.co.id – Peluncuran Online Single Submission (OSS) diharapkan bisa memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia. Namun pada pelaksanaannya, implementasi dari sistem ini masih menemui banyak hambatan, seperti belum meratanya fasilitas dan infrastruktur internet di daerah dan juga tumpeng tindihnya peraturan tingkat pusat dengan peraturan daerah. Harmonisasi peraturan ini membutuhkan dukungan pemerintah daerah.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Krishnamurti mengatakan, penerapan OSS masih membutuhkan evaluasi. Salah satunya adalah terkait harmonisasi peraturan tingkat pusat dengan daerah. Harmonisasi ini, katanya, tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah, sebagai pihak yang paling memahami peta dan potensi ekonomi di wilayahnya, perlu mempelajari ulang dan merevisi aturan yang kepentingan dan sifatnya sama dengan aturan tingkat pusat.

“Jangan sampai pemerintah daerah malah membuat portal serupa OSS karena hal ini akan makin membingungkan para pengusaha dan investor. Menelaah peraturan dan melakukan deregulasi peraturan yang sudah tertuang dalam aturan tingkat pusat akan lebih efektif untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif,” jelas Indra dalam keterangan persnya.

Selain itu sosialisasi OSS juga penting dilakukan. Proses sosialisasi membutuhkan pendampingan dari pemerintah pusat agar penerapannya efektif menyelesaikan panjangnya rantai birokrasi perizinan di Indonesia.

Peringkat Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia pada Indeks EoDB 2019 turun satu poin dari peringkat 72 menjadi peringkat 73. Penurunan peringkat ini tentu tidak sejalan dengan target yang ingin dicapai Presiden Joko Widodo yaitu kenaikan 32 peringkat menjadi peringkat 40 di 2019. Indeks EoDB dikeluarkan oleh Bank Dunia dan dirilis secara rutin setiap tahunnya. Jika pada Indeks 2019 Indonesia menduduki peringkat 73, maka pada 2017 dan 2018 peringkat Indonesia berada di 91 dan 72.

Pada Indeks EoDB 2018, Indonesia hanya mencapai posisi ke-144 pada indikator Starting a Business. Peringkat ini membuat Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Singapura ataupun Hongkong yang masing-masing mencapai posisi 6 dan 3. Indikator Starting a Business dalam EoDB dihitung berdasarkan jumlah prosedur, hari dan biaya yang dikeluarkan untuk mendaftarkan usaha.