Ilustrasi aktivitas di Bank Indonesia. Foto: google.com
Ilustrasi aktivitas di Bank Indonesia. Foto: google.com

Jakarta, MNEWS.co.id – Bank Indonesia akan memperluas ranah e-commerce bagi UMKM agar terus dapat mengembangkan usaha dan mendapatkan perlindungan di saat yang bersamaan. Ini merupakan salah satu insentif kebijakan terkait dengan program pemerintah yang telah mendorong 8 juta UMKM bergabung dalam program Go-Online.

Yunita Resmi Sari, Direktur Kepala Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia menyebutkan bahwa BI sebagai bank sentral akan memperluas e-commerce untuk UMKM dan memproteksi akses keuangannya.

Ia menjelaskan, BI menyelaraskannya dengan tugas utama bank sentral, yaitu pengendalian inflasi, upaya mendukung ekspor untuk menopang kinerja transaksi berjalan, serta mendorong fungsi intermediasi sehingga risiko perbankan terbesar dan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) terjaga.

“Baik proteksi terhadap hak cipta, sistem pembayarannya karena payment system ada di bawah wewenang kami, serta proteksi terhadap akses keuangannya,” kata Yunita di Gedung BI, Selasa, (17/7/18).

BI menetapkan kebijakan dalam mendorong UMKM melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/22/PBI/2012 tentang pemberian kredit bank umum dalam rangka pengembangan UMKM. Dalam peraturan tersebut, BI mewajibkan bank untuk menyalurkan kredit kepada UMKM dengan rasio minimal 20 persen.

Hingga Mei 2018, rasio kredit UMKM di dalam negeri berada di level 20,6 persen. “Ada bank yang tinggi, ada yang rendah, tapi jaraknya 20 persen kurang sedikit hingga 20 persen lebih sedikit,” ujar Yunita.

Realisasi tersebut merupakan rata-rata penyaluran kredit dari seluruh perbankan nasional. Maka penyaluran kredit masing-masing bank masih ada yang rendah atau tinggi. Kredit yang disalurkan tersebut kebanyakan untuk usaha mikro, meski secara nominal kredit paling banyak untuk usaha menengah.

Rendahnya penyaluran kredit tersebut dikarenakan adanya missing middle dalam industri UMKM. Sebab, masyarakat Indonesia banyak yang bergerak di usaha mikro tapi masih sangat sedikit yang bergerak di usaha kecil.

Selain itu, sebagian besar UMKM bergerak di sektor pertanian yang memiliki risiko cukup tinggi untuk gagal panen. Inilah yang menyebabkan perbankan enggan untuk menyalurkan kredit, karena dinilai lebih tinggi risikonya ketimbang potensinya.

“Banyak perbankan yang berpresepsi sektor pertanian berisiko tinggi. Untuk itu BI lakukan program pengembangan UMKM. Ada kewenangan pemerintah di situ. Sekarang bagi BI hanya membantu dari sisi pengendalian inflasi,” imbuhnya.

Karenanya, pemerintah harus ikut andil dalam menyesuaikan masa kredit sektor pertanian. Sebab, selama ini pemberian kredit hanya diberikan waktu satu bulan pembayaran namun khusus pertanian lebih baik diperpanjang hingga enam bulan sesuai masa panen.

BI melihat UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia yang harus didukung pengembangannya. Sebagai pemegang tugas mengendalikan inflasi, BI berupaya untuk mengembangkan UMKM untuk mengendalikan komponen bergejolak (volatile food).

Yunita berharap, target penyaluran kredit UMKM tersebut bisa dipenuhi oleh semua bank sampai dengan akhir tahun. Saat ini baru 25 persen UMKM yang telah mendapatkan akses pembiayaan perbankan.

Struktur UMKM di Indonesia masih didominasi usaha mikro sebesar 98 persen. Padahal usaha akan memiliki kontribusi ke pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja jika telah mencapai level kecil atau menengah.

“Untuk naik tingkat menjadi usaha kecil dan menengah inilah yang membutuhkan pembiayaan. Ini yang disebut fenomena missing m‎iddle, di mana usaha kelas menengah dan kecil sangat minim,” ujar dia.

Penyebaran kredit UMKM yang belum merata dan penetrasi yang minim menyebabkan penyaluran kredit UMKM yang belum menyeluruh. Alasannya, saat ini porsi UMKM di Indonesia didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sedangkan penyaluran kredit UMKM sebagian besar bermuara ke sektor perdagangan.