Ilustrasi

Bukan hal yang asing di telinga bahwa sektor usaha mikro kecil menengah ( UMKM) merupakan salah satu motor penggerak perekonomian Indonesia dan menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jumlah pelaku UMKM di Indonesia dilaporkan mencapai 49 juta dan diprediksi menyerap lebih dari 107 juta tenaga kerja. Kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) pun semakin meningkat dalam lima tahun terakhir di mana Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat lonjakan dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen di tahun 2016.

Di antara UMKM, industri ekonomi kreatif juga tercatat berkembang positif dengan pertumbuhan 5,6 persen antara 2010-2013. Industri ini menyumbang 7,1 persen terhadap PDB dan berhasil menyerap sekitar 12 juta tenaga kerja, menjadikannya salah satu ranah andalan untuk mendorong peningkatan pendapatan masyarakat serta berperan strategis dalam memerangi pengangguran dan kemiskinan.

Meski menunjukkan pertumbuhan yang positif, sektor UMKM dan industri ekonomi kreatif saat ini menghadapi persaingan yang sangat ketat, terlebih dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Untuk itu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pun menargetkan peningkatan produktivitas dan daya saing UKM yang diharapkan dapat tumbuh hingga 20 persen per tahun, salah satunya dengan cara memperluas akses terhadap pembiayaan bagi para UMKM.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa kebutuhan akan total pembiayaan di Indonesia mencapai hampir Rp 1.700 triliun. Sementara itu, kapasitas pembiayaan oleh industri keuangan tradisional hanya mampu menjawab kebutuhan sebesar Rp 700 triliun. Artinya, masih terdapat kesenjangan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun, termasuk dalam sektor UMKM, yang belum terlayani oleh segmen perbankan maupun institusi finansial lainnya.

Hal tersebut utamanya disebabkan oleh satu hal: terbatasnya akses pelaku usaha terhadap layanan keuangan. Penetrasi keuangan yang rendah membuat pelaku bisnis UMKM di Indonesia kesulitan dalam memperoleh pinjaman dana. Terlebih bagi industri kreatif dengan aset yang bersifat intangible dan kerap membuat mereka tersandung permasalahan jaminan saat ingin mengajukan pinjaman ke bank atau institusi keuangan lain demi membiayai berbagai kebutuhan perusahaannya.

Lahirnya financial technology atau fintech (tekfin) peer-to-peer lending (p2p lending), yang didukung kekuatan teknologi, menjadi angin segar bagi solusi pembiayaan dengan menghadirkan berbagai kemudahan bagi para UMKM.

Sebagai penghubung antara pihak yang membutuhkan pinjaman (borrower) dan pihak pemberi pinjaman (lender), p2p lending mampu menjadi jembatan bagi kebutuhan bisnis UMKM dan ekonomi kreatif untuk tetap produktif.

Melalui alur pendanaan yang lebih mudah dan cepat, serta bunga yang kompetitif dibandingkan layanan keuangan konvensional, p2p lendingdapat menjadi solusi pendanaan yang tepat sasaran bagi segmen kreatif dan industri padat modal lainnya yang belum seluruhnya tersentuh oleh bank. Hal ini juga sejalan dengan meningkatnya model bisnis sharing economy di Indonesia, terutama yang berbasis teknologi.

Banyak bentuk pembiayaan yang ditawarkan oleh pelaku usaha tekfin p2p lending saat ini, beberapa diantaranya adalah pembiayaan mikro atau modal kerja, consumer loan, dan crowdfunding. Salah satu bentuk pembiayaan yang menarik dan dapat dimanfaatkan oleh UMKM, terutama oleh para pelaku industri kreatif, adalah invoice financing atau pembiayaan tagihan.

Arus kas (cash flow) seringkali menjadi kendala operasional bagi para pelaku usaha di bidang ini. Mereka kerap kesulitan untuk memelihara arus kas yang lancar dan lebih jauh mengembangkan bisnisnya karena terbentur syarat peminjaman dana dengan terbatasnya fixed asset collaterals yang dimiliki.

Melalui invoice financing, pelaku usaha dapat menjaminkan tagihan yang sedang berjalan dan memperoleh pinjaman secara mudah, cepat, dan aman tanpa khawatir cash flow terganggu. Suntikan modal ini membantu UMKM untuk memastikan bisnisnya bisa berjalan dengan lebih baik.

Sementara itu, di sisi lain, para lender bisa memperoleh hasil yang menarik sambil turut berkontribusi menciptakan dampak sosial, mendorong kesejahteraan pelaku usaha dan masyarakat yang lebih merata.

Geliat sharing economy ini dapat menjadi momentum bagi p2p lendingdalam mendorong ekonomi yang lebih inklusif di Indonesia. Mengingat jumlah transaksi pembiayaan yang disalurkan melalui layanan p2p lending baru mencapai kisaran angka Rp 150 miliar, maka diharapkan semakin banyak pemain p2p lending dapat memberdayakan UMKM dan industri kreatif Indonesia secara lebih mantap.

Dukungan pemerintah pun dibutuhkan untuk memastikan terciptanya ekosistem yang lebih sehat, mewujudkan keamanan konsumen, dan menjaga industri tidak diusik oleh keberadaan “tengkulak online” yang berkedok perusahaan p2p lending.

Keberlangsungan dan integritas usaha p2p lending menjadi hal yang perlu didukung baik oleh regulator maupun pelaku usaha itu sendiri.

Aturan main yang jelas dan komitmen akan implementasi aturan yang ideal akan membantu p2p lending berdiri kokoh sebagai solusi pembiayaan yang efektif sekaligus berdampak besar bagi UMKM dan industri kreatif di Indonesia.