Suasana sholat Idul Fitri di Masjid Jami Nurul Khil'ah, Cinere, Depok, Rabu (5/6/2019). Foto: MNEWS.
Suasana sholat Idul Fitri di Masjid Jami Nurul Khil'ah, Cinere, Depok, Rabu (5/6/2019). Foto: MNEWS.

Depok, MNEWS.co.id – Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal 1440 H atau Rabu (5/6/2019) identik dengan momen untuk saling bersilaturahmi dan mengunjungi sanak-saudara. Dari tahun ke tahun, tiap keluarga di tiap daerah memiliki tradisinya masing-masing.

Ada yang mudik ke kampung halaman beberapa hari sebelum Lebaran, agar bisa merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar. Ada pula yang merayakannya di tempat perantauan. Bahkan sebagian orang tidak bisa merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga, karena sedang bertugas. Sebut saja beberapa profesi penting yang tetap berlangsung selama 24 jam selama Idul Fitri, seperti pengemudi kendaraan umum, pramusaji restoran, hingga pengawas yang bekerja di stasiun kereta api atau bandara.

Di antara dinamika nuansa berlebaran yang diwarnai berbagai disparitas, momentum ini menjadi saat yang tepat untuk bertemu kembali dengan seluruh anggota keluarga, sanak-saudara, saling memaafkan hingga merayakan berbagai perbedaan yang ada.

Seperti keluarga dari Eka Priskari di Pangkalan Jatibaru, Cinere, Depok. Ada yang berbeda di tahun ini, karena dirinya tidak bisa merayakan hari-H di kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah, karena mulai bekerja pada hari ketiga setelah Lebaran. Profesinya sebagai staf sumber daya manusia di salah satu rumah sakit ibu dan anak tersebut mengharuskannya bekerja keras, bahkan kadang kerap lembur meski masih dalam suasana hari raya.

“Lebaran tahun ini senang sekali, karena di saat belum dapat cuti tapi masih dibolehkan izin menengok nenek di kampung, sekaligus silaturahmi dengan saudara-saudara yang lainnya juga,” papar Eka kepada MNEWS melalui pesan singkat, Senin (10/6/2019).

Izin yang didapatnya beberapa hari pasca lebaran tersebut tentu saja dimanfaatkan untuk mengunjungi keluarga besar di kampung halaman. Namun, ternyata ada perbedaan yang cukup mencolok antara tradisi di rumahnya di kawasan Cinere, Depok, dengan tradisi di Dusun Nayu, Wonogiri.

Menurut Eka, tradisi berlebaran di rumahnya pada hari pertama, biasanya para tetangga datang untuk saling bersilaturahmi dari rumah ke rumah, disusul saudara yang datang berkunjung ke rumah dengan bergantian layaknya open house. Sedangkan tradisi lebaran di kampung halamannya, Dusun Nayu, Wonogiri, Jawa Tengah, sedikit berbeda. 

“Nah kalau Lebaran pertama di Jawa agak sepi, karena memang tradisi di Jawa hanya membawa makanan dari rumah sebelum shalat Ied, dan nanti setelah shalat langsung tukar-menukar makanan yang dibawa. Baru setelah itu, lebaran hari kedua berkumpul di rumah Kepala Desa untuk salam-salaman dengan warga satu kampung,” imbuhnya.

Terkait makanan, juga ada perbedaan yang signifikan. Biasanya, makanan yang disajikan di rumah saat Lebaran hampir sama setiap tahunnya.

“Kalau makanan yang wajib ada di rumah saat Lebaran itu pertama rendang, kedua sayur godok atau sayur krecek, opor ayam, sambal goreng kentang, dan pastinya ketupat,” tandas wanita penyuka rendang ini.

Sedangkan di desa, justru tidak ada makanan wajib di hari raya. Makanan yang dihidangkan sama seperti hari-hari biasa.

“Kalau di kampung tidak ada ritual khusus, apalagi makanan wajib, jadi seperti hari-hari biasa saja,” pungkasnya.

Adanya keberagaman ini, tidak lantas membuat masyarakat Muslim yang merayakan Lebaran terpaku pada perbedaan. Akan tetapi, merayakan perbedaan tersebut dengan suka-cita karena momentum setahun sekali ini menyimpan banyak kesan dan cerita di masa mendatang.