Jakarta, MNEWS.co.id – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Noor Halimah Anjani menilai urgensi digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin mendesak dengan berlakunya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pasalnya, kebijakan ini membatasi jam operasi sentra-sentra ekonomi seperti pasar, swalayan, restoran, hingga penutupan pusat perbelanjaan.
“Program digitalisasi yang bersifat jangka panjang dan berkesinambungan harus menjadi fokus dari pemerintah. Penting bagi pemerintah untuk memastikan UMKM dapat bertahan selama masa PPKM Darurat dan setelahnya,” kata Halimah.
Ia menjelaskan PPKM darurat berpeluang besar meningkatkan tren transaksi ekonomi digital dan peluang ini perlu dimanfaatkan oleh UMKM. Namun, sayangnya belum semua UMKM sudah beroperasi secara digital.
Data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan, baru 16 persen dari 64 juta UMKM di Indonesia yang sudah terhubung dalam ekosistem ekonomi digital. Danareksa Research Institute juga memperlihatkan adanya kesenjangan digital antara UMKM yang mulai mengadopsi digitalisasi di masa pandemi. Sebanyak 41 persen dari mereka yang mulai menggunakan platform digital berada di wilayah DKI Jakarta. Sementara di luar Pulau Jawa pengguna platform digital baru mencapai 16 persen.
“Rendahnya adopsi teknologi digital pada UMKM dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kurangnya pengetahuan dan skil dalam menggunakan layanan digital, merasa lebih nyaman berjualan secara offline dan juga tidak merasa aman dalam melakukan transaksi digital,” ungkapnya.
Oleh karena itu, diperlukan pendampingan secara berkelanjutan agar pengusaha UMKM dapat memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan penjualannya. Menurutnya, kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindustrian (Dinkop) perlu ditingkatkan.
“Selain itu, kerja sama dengan pihak swasta juga dapat membantu mempercepat proses digitalisasi ini dapat menjangkau lebih banyak lagi UMKM,” pungkasnya.