Jakarta, MNEWS.co.id – Disparitas antara inklusi keuangan dan literasi keuangan memerlukan perhatian serta mitigasi khusus. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan yang diadakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019 menunjukkan bahwa indeks inklusi keuangan sebesar 76,19% sementara indeks literasi keuangan ada di angka 38,03%. Dari data tersebut terlihat bahwa akses untuk menjangkau layanan keuangan tidak diiringi dengan adanya literasi atau pengetahuan akan keuangan.
Kurangnya kompetensi literasi keuangan merupakan isu nasional yang perlu dijembatani, terutama bagi mereka yang berada di taraf prasejahtera. Survei OJK 2019 lalu juga menunjukkan indeks literasi keuangan di perkotaan kurang dari 50% yaitu hanya 41,41% sementara masyarakat pedesaan berada pada angka 34,53% saja. Data lain turut menampilkan bahwa perempuan memiliki indeks literasi keuangan yang rendah dibanding laki-laki, yaitu 36,13%.
Rendahnya tingkat literasi keuangan menjadi persoalan penting karena dapat berdampak buruk bagi kehidupan individu hingga negara. Seseorang yang minim pengetahuan akan keuangan cenderung mudah terjebak dalam praktik penipuan seperti terjerat investasi bodong. Ia juga tidak mengetahui bagaimana mengatur keuangan yang baik sehingga berpotensi memperdalam lubang hutang dan justru semakin miskin.
Andi Taufan Garuda Putra, CEO dan Founder Amartha mengatakan, sejak bertransformasi menjadi peer to peer (P2P) lending, pihaknya menyadari bahwa Mitra Amartha tidak hanya membutuhkan modal usaha tetapi juga pelatihan pengelolaan usaha dan keuangan agar dapat lebih sejahtera secara finansial.
Sebagai perusahaan fintech, Amartha tidak hanya fokus memberikan akses permodalan kepada perempuan pengusaha mikro di pedesaan, tetapi juga memberikan pendampingan serta pelatihan keuangan secara rutin. Mitra Amartha yang telah bergabung juga harus mengikuti pelatihan di mana akan dikenalkan mengenai dasar pengelolaan modal usaha dengan bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional.
“Upaya ini diharapkan dapat menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan kompetensi literasi keuangan di masyarakat khususnya di desa,” ujar Andi dalam siaran pers yang diterima oleh M-News.
Pelatihan tersebut diinisiasi dari data yang ditemukan Amartha bahwa mayoritas pendidikan yang ditempuh oleh perempuan di pedesaan hanya sampai pada jenjang Sekolah Dasar dengan persentase 52.3%.
Akses terhadap informasi dalam hal ini kepemilikan ponsel juga menjadi hambatan untuk mengadakan pelatihan keuangan. Sebanyak 62.5% mitra Amartha tidak memiliki ponsel yang terhubung dengan internet. Akses informasi hanya didapat dari media konvensional seperti televisi atau orang terdekat seperti keluarga dan kelompok sebaya saja.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya akses terhadap informasi, para perempuan mitra Amartha ternyata lebih memilih fintech peer-to-peer (p2p) lending atau fintech pendanaan dibandingkan jasa keuangan formal lainnya.
Sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut adalah jarak yang jauh dengan bank, jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, syarat administrasi yang lebih kompleks, hingga sudah terbiasa dengan transaksi tunai.
“Kami berkomitmen bahwa keberadaan fintech pendanaan tidak hanya meningkatkan inklusi keuangan tetapi yang lebih utama mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif (inclusive economy), dengan menjangkau underserved dan unbanked dan memberikan literasi keuangan dan pendampingan usaha untuk tercapainya kesejahteraan yang berkelanjutan,” tambah Andi.
Amartha berkolaborasi dengan berbagai lembaga Internasional seperti Bank Dunia (World Bank), DFAT Australia dan Unilever untuk menciptakan modul literasi keuangan dalam rangka mengedukasi para perempuan di pedesaan mengenai pengelolaan uang di taraf rumah tangga kepada lebih dari 570 ribu mitra.