Ilustrasi pekerja perempuan. (Foto: Blog Amartha)

Jakarta, MNEWS.co.id – Hingga saat ini, perempuan masih dianggap warga kelas dua yang kedudukannya di bawah laki-laki. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, terutama di dunia kerja masih terbuka lebar.

Berdasarkan Laporan The Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Forum Economic/WEF), partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja dan distribusi pendapatan di Indonesia masih terbilang rendah dengan angka 54 persen.

Data McKinsey Global Institute turut membeberkan rasio partisipasi kerja perempuan yang masih rendah cenderung mendatar, dibandingkan dengan laki-laki di Indonesia. Partisipasi angkatan kerja perempuan hampir tidak beranjak selama 20 tahun terakhir, konstan berada di kisaran angka 51 persen perempuan, dengan rasio partisipasi perempuan ke laki-laki statis 0,62.

Sampai sekarang, masih banyak kendala yang membuat perempuan tidak dapat terlibat dalam pengambilan keputusan di semua lapisan masyarakat. Hambatan seperti undang-undang yang diskriminatif, kurangnya pendidikan dan tanggung jawab kepedulian yang lebih besar, semuanya membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin atau memberikan suara dalam pengambilan keputusan.

Padahal, menurut studi Zenger dan Folkman yang diangkat oleh Harvard Business Review, perempuan unggul dalam berbagai aspek dibandingkan laki-laki sebagai pemimpin. Aspek-aspek tersebut adalah dalam hal mengambil inisiatif, daya juang, pengembangan diri dan pengembangan orang lain, memotivasi orang lain, serta mendorong perubahan.

Dalam rangka perayaan International Women’s Month, Amartha menggelar Impact Talks bertajuk “Investing in Women: Mainstreaming Women Participation in the Economy”. Sejak bulan Desember tahun lalu, Amartha merilis campaign dengan tajuk #SaatnyaPerempuan yang berfokus untuk mengajak para perempuan bangkit, maju, dan berdaya dalam beragam kegiatannya.

Kegiatan Amartha Impact Talk “Investing in Women: Mainstreaming Women Participation in the Economy” bersama Maya Juwita, Executive Director IBCWE, Kalis Mardiasih, Penulis dan Aktivis Kesetaraan Gender dan Aria Widyanto, Chief Risk and Sustainability Officer Amartha secara virtual melalui Zoom, Selasa, (30/3/21). (Foto: MNEWS)

Amartha Impact Talks kali ini menghadirkan IBCWE (Indonesia Business Coalition for Women Empowerment) yakni Maya Juwita selaku Executive Director IBCWE, dan juga Kalis Mardiasih selaku Penulis dan Aktivis Kesetaraan Gender.

IBCWE meyakini bahwa bisnis, bersama dengan pemerintah dan masyarakat sipil, memiliki peran penting dalam mengurangi ketimpangan, mengentaskan kemiskinan, dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Alasan ini melatarbelakangi mereka untuk bersama-sama membentuk IBCWE dan mengajak perusahaan terkemuka di Indonesia mempromosikan pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender.

Maya Juwita selaku Executive Director IBCWE mengatakan ketimpangan posisi perempuan di dunia kerja perlu menjadi perhatian serius. Terlebih dengan adanya masa pandemi yang memberi pengaruh signifikan kepada pekerja perempuan.

Menurutnya, perempuan yang notabene banyak bekerja paruh waktu atau sektor jasa yang banyak terdampak masa pandemi tak sedikit kemudian lebih mudah kehilangan pekerjaan.

“Tidak hanya itu, dampak pandemi bagi pekerja perempuan juga sekarang diperparah dengan ketidakadilan beban domestik yang mesti ditanggung perempuan di ranah keluarga. Belum lagi, potensi masalah kekerasan yang mayoritas banyak dialami perempuan,” katanya saat menjadi narasumber kegiatan Amartha Impact Talk “Investing in Women: Mainstreaming Women Participation in the Economy” secara virtual melalui Zoom, Selasa, (30/3/21).

Sementara itu, Kalis Mardiasih, Penulis dan Aktivis Kesetaraan Gender menambahkan di era modern saat ini masih ada banyak perempuan yang takut menyuarakan pendapatnya karena takut dihakimi. Menurutnya, sebagai perempuan harus bisa berani berekspresi sebagai modal untuk bisa lebih maju. Maka dari itu, Ia mendorong perempuan agar lebih berani menyuarakan isi pikirannya atau menunjukkan sikapnya.

“Saat ini masih banyak perempuan yang takut dan berpikir apakah mereka boleh mengambil suatu profesi, meneruskan pendidikan, atau keluar rumah dengan bebas hanya karena mereka perempuan. Tak sedikit perempuan yang takut senyum karena dia merasa bahwa senyumnya itu dosa, sumber fitnah, dan lain sebagainya,” ujar Kalis.

Oleh karena itu sebagai bentuk kepeduliannya terhadap perempuan, Kalis menghadirkan konten-konten melalui media sosial yang membahas isu perempuan dengan sudut pandang agama yang tidak mendiskriminasi. Ia berani membahas topik-topik menarik tentang stigma perempuan di mata agama yang benar-benar dapat membuka mata bahwa semua manusia memiliki tugas yang sama di dunia, yaitu untuk bisa bermanfaat bagi orang lain dan hal ini tidak hanya dibatasi oleh gender.