Ilustrasi Konser HUT DKI Jakarta. (Foto: Liputan6)

MNEWS.co.id – Perubahan persentase pajak hiburan menjadi perbincangan hangat dalam beberapa waktu terakhir. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berusaha untuk mencari solusi yang dapat mendukung pertumbuhan industri Parekraf tanpa memberatkan pelaku usaha. Langkah ini sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi pariwisata unggulan di dunia.

Dilansir dari siaran pers Kemenparekraf, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kabaparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno mengungkapkan jika pihaknya menampung dan menerima aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh para pelaku parekraf terkait perubahan tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Kami melalui Staf Ahli Bidang Manajemen Krisis akan memfasilitasi setiap aspirasi dan memberikan tambahan informasi untuk pelaku parekraf dan juga ada helpdesk untuk mereka (pelaku parekraf),” kata Sandiaga di Jakarta, Senin (22/1/2024).

Dalam kesempatan serupa, Staf Ahli Menparekraf Bidang Manajemen Krisis, Fadjar Hutomo menambahkan, terkait hal ini Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf sedang mengkaji materi perubahan persentase tarif pajak hiburan ini. Selain juga terus menjalin komunikasi dengan para pelaku parekraf.

“Kami terus berkomunikasi, berkoordinasi, dan menyerap aspirasi kawan-kawan di industri, termasuk proses yang sedang mereka lakukan dan diskusikan untuk mengawal hal itu,” kata Fadjar.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menyampaikan bahwa  pajak hiburan yang termasuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), sebenarnya tidak mengalami kenaikan. Akan tetapi, nilai persentase pajak tersebut justru diturunkan dari semula paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen.

“Sebetulnya, kurang tepat kalau dibilang bahwa pajak jasa hiburan ini tarifnya naik. Secara umum, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) justru turun,” ungkap Lydia.

Lydia menjelaskan dalam UU ini ada 12 jenis PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. Di mana, dalam UU HKPD ini dicantumkan bahwa 11 jenis PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan, seperti pajak pagelaran busana, kontes kecantikan, bioskop, hingga konser, yang dulunya dikenakan tarif pajak maksimal 35 persen, sesuai UU HKPD diturunkan tarifnya menjadi 10 persen. Penurunan tarif pajak ini disesuaikan dengan PBJT jenis lainnya di dalam UU.

Sementara, ada pula beberapa jenis jasa hiburan tertentu yang dikenakan pajak sebesar 40-75 persen yaitu bar, kelab malam, diskotek, karaoke, dan mandi uap/spa.

“Urgensi kenaikan tarif ini adalah instrumen fiskal, dalam hal ini pajak tidak hanya mencari pendapatan sebanyak-banyaknya, tetapi instrumen fiskal ini juga berfungsi regulatory melakukan pengendalian,” kata Lydia.

Menanggapi hal tersebut, aktivis sekaligus pelaku parekraf asal Bali, Niluh Djelantik berharap ada regulasi yang berpihak kepada pelaku parekraf dalam penetapan tarif pajak hiburan.

“Kami memerlukan kepastian dari pemerintah pusat dan kami berharap tidak hanya Bali saja yang diberi keringanan tarif pajak tapi juga seluruh pengusaha terkait di seluruh Indonesia,” kata Niluh.