Ilustrasi UMKM. (Foto: Aji Styawan)

Jakarta, MNEWS.co.id – Dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN, kontribusi ekspor Indonesia dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih relatif rendah yaitu 14%. Sebagai perbandingan, di Thailand kontribusi ekspor dari UMKM sudah 29%, sedangkan Malaysia sudah mendekati 20%. Bahkan Jepang mencapai 54% dan Tiongkok 70%.

Staf Ahli Menteri Bidang Produktivitas dan Daya Saing Kementerian Koperasi dan UMKM, Yulius menyampaikan, ada dua hal utama yang menyebabkan kontribusi ekspor dari UMKM Indonesia masih relatif kecil. Pertama, kurangnya pengetahuan para pelaku UMKM terkait ekspor.

“Penyebabnya apa? Karena tidak ada kemampuan untuk mengekspor. Kita punya barang, tidak bisa mengemas. Untuk mengirim barang, cara keluarnya, L/C (letter of credit), kita nggak tahu. Ternyata banyak yang tidak tahu cara mengekspor,” kata Yulius.

Kedua, belum optimalnya peran market intelligence guna mengidentifikasi tujuan baru ekspor, kebutuhan produk, identifikasi selera konsumen di negara tujuan, hambatan perdagangan, hingga jaringan distribusi di negara tujuan ekspor.

Market intelligence ini juga sebuah persoalan. Kita masih mengekspor ke negara-negara yang istilahnya konvensional, belum mencari negara-negara lain yang sebenarnya potensinya luar biasa,” tambahnya.

Membuka akses pasar baru di negara-negara non-tradisional menurutnya harus terus dilakukan agar produk-produk UMKM Indonesia bisa semakin berdaya saing dan mendunia.

Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM menjalin kolaborasi dengan Universitas Katolik Parahyangan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Perwakilan, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim telah menandatangani MoU dalam bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian terhadap Masyarakat dengan Rektor UNPAR Mangadar Situmorang.

Ia berharap lewat kerja sama itu, sinergi antara pemerintah dengan akademisi dan mahasiswa bisa berjalan efektif dalam mencapai peningkatan rasio kewirausahaan, khususnya di kalangan milenial, serta menyiapkan generasi muda untuk pembangunan ekonomi negeri.

Yulius meyakini peluang pengembangan wirausaha kedepan ada di tangan anak muda. Merujuk pada Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 lalu, sebanyak 64,69 persen atau 173,48 juta populasi di Indonesia merupakan generasi milenial, generasi Z, dan generasi alpha. Di sisi lain, Research Institute SMERU mencatat 73 persen pemuda Indonesia punya minat untuk menjadi wirausaha.

Menurutnya, untuk memulai menjadi wirausaha, harus dilakukan by design. Artinya, harus ada pelatihan secara berkelanjutan. Belajar dari Amerika Serikat, pelatihan atau peningkatan SDM itu wajib dilakukan oleh ahlinya, bukan pekerja sambilan.

“Pemateri juga harusnya dilakukan oleh pelaku usaha langsung atau praktisi, seperti lawyer, ahli marketing dari perusahaan, dan lain-lain,” pungkasnya.