Amartha mengadakan Media Briefing mengenai 'Dampak Teknologi Finansial dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa' di GoWork fX Sudirman,  Rabu (6/11/19). (Foto: MNEWS)
Amartha mengadakan Media Briefing mengenai 'Dampak Teknologi Finansial dalam Pemberdayaan Perempuan di Desa' di GoWork fX Sudirman,  Rabu (6/11/19). (Foto: MNEWS)

Jakarta, MNEWS.co.id – PT Amartha Mikro Fintek merupakan sebuah perusahaan teknologi finansial (tekfin) alternatif investasi, mengeluarkan hasil riset bersama Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada di GoWork fX Sudirman, Rabu (06/11/19).

Riset tersebut bertemakan ‘Peran Amartha dalam Meningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Pedesaan’. Berdasarkan riset tersebut, Amartha berhasil meningkatkan kesejahteraan kehidupan para mitra yaitu perempuan pelaku usaha mikro yang ada di desa. Pelatihan mengenai pendanaan serta pendampingan yang diberikan Amartha untuk para mitranya, mampu membuat penghasilan naik hingga tujuh kali lipat bahkan melebihi Upah Minimum Regional (UMR) setempat. 

Riset tersebut dilakukan kepada 88 responden mitra Amartha yang ada di delapan kota di pulau Jawa yaitu Bandung, Bogor, Subang, Sukabumi, Banyumas, Klaten, Kediri, dan Mojokerto. Riset ini menggabungkan beberapa metode penelitian yaitu survei, wawancara dan focus group discussion (FDC).

Dewa Ayu Diah Angendari selaku Sekretaris Eksekutif CfDS UGM mengatakan, 94% para mitra Amartha merasa lebih sejahtera setelah bergabung dengan Amartha. Penghasilan yang didapatkan naik menjadi Rp5-10 Juta per bulan dari yang awalnya hanya sekitar Rp1-2 Juta per bulan.

“Kenaikan tertinggi dirasakan oleh salah satu mitra Amartha di Klaten yang mengalami lonjakan pendapatan dari Rp1,4 Juta menjadi Rp10 Juta per bulan, jauh melampaui UMR Klaten senilai Rp1.795.061,” tambahnya.

Media Briefing Amartha bersama Aria Widyanto selaku Chief Risk and Sustainability Officer Amartha (kanan), Poppy Sulistyaning Winanti selaku Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni, dan Penelitian FISIPOL UGM (tengah) dan Tumini selaku Mitra Amartha asal Bangutapan (kiri) , di GoWork fX Sudirman, Rabu (6/11/19) (Foto: MNEWS)

Salah satu penemuan dalam riset tersebut menunjukkan bahwa 76% para mitra usaha Amartha, mengakui dapat menyekolahkan anaknya melalui pendapatan usaha mereka. Selain itu penghasilan penjualan pun meningkat, usaha semakin berkembang, dapat turut membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar serta memiliki cadangan dana darurat.

Sementara Aria Widyanto selaku Chief Risk and Sustainability Officer Amartha mengatakan, setiap minggu Amartha mengadakan pertemuan majelis atau kelompok mitra yang berjumlah 10-25 orang. Dalam pertemuan tersebut, mereka diberikan pendampingan dan pendidikan mengenai tata kelola usaha dan keuangan. Melalui metode ini, Amartha dapat menjembatani kesenjangan yang muncul dari rendahnya tingkat pendidikan dan akses informasi perempuan di pedesaan.

Mayoritas perempuan di pedesaan memiliki pendidikan yang rendah serta terbatasnya informasi,  52,3% mitra Amartha adalah lulusan sekolah dasar yang kebanyak berprofesi sebagai pedagang berskala mikro dengan penghasilan kurang dari Rp3 juta per bulan. Sementara dalam mengakses informasi, mitra amartha hanya mengandalkan televisi dan orang-orang di lingkungan mereka.

Sekitar 70% perempuan mitra Amartha berusia di atas 40 tahun, dan 62,5% mitra Amartha mereka tidak mempunyai handphone yang terhubung dengan internet.

Amartha pun menurunkan agen lapangan (business partner) yang bertugas menjembatani para mitra serta salah satu cara menghadapi tantangan tersebut. Sistem pendampingan tersebut membuat pengetahuan para perempuan desa tentang literasi keuangan semakin meningkat.

Business partner datang pada setiap pertemuan mingguan untuk membantu tentang pengelolaan pinjaman dan pembayaran. Kegiatan mingguan tersebut dapat menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mengelola keuangan dengan lebih baik. Sebanyak 54,5% mitra Amartha merasa kemampuan mengelola keuangan meningkat setelah bergabung dengan Amartha. 

Para perempuan mitra Amartha, ternyata lebih memilih fintek peer-to-peer (p2p) lending dibandingkan jasa keuangan formal lainnya. Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan mereka adalah jarak yang jauh dengan bank, jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, syarat administrasi yang lebih kompleks, hingga sudah terbiasa dengan transaksi tunai.