Ilustrasi umat Hindu yang tengah bersembahyang di Pura. Foto: (doc/MNEWS).
Ilustrasi umat Hindu yang tengah bersembahyang di Pura. Foto: (doc/MNEWS).

Jakarta, MNEWS.co.id –  Setiap tahunnya, umat Hindu memperingati Hari Raya Nyepi yang bertepatan dengan pergantian tahun baru Saka. Di momen ini, seluruh aktivitas dihentikan, dan sepenuhnya fokus pada pendekatan diri dengan Tuhan secara kontemplatif.

Pada peringatan Nyepi Tahun Baru Saka 1941 yang jatuh pada Kamis, (7/3/2019), umat Hindu kembali pada kesunyian guna merenungkan kembali apa yang telah dilakukan selama ini. Dalam agama Hindu dikenal istilah konsep Catur Brata Penyepian, yang berisi empat pantangan selama Nyepi, yaitu Amati Geni, Amati Lelanguan, Amati Lelungan, dan Amati Karya.

Amati Geni yaitu pantangan menyalakan lampu atau api dan alat elektronik, Amati Lelanguan berarti pantangan melakukan kesenangan atau menghibur diri, Amati Lelungan adalah pantangan untuk bepergian, dan Amati Karya yang artinya menghentikan segala jenis aktivitas fisik dan refleksi diri atas hidup yang dijalani selama ini.

Pegiat Difabel asal Bali, Ari Bathilda, bercerita mengenai pengalaman dan pemikirannya tentang Nyepi. Menurutnya, prinsip Catur Brata yang dilakukan saat Nyepi adalah sebentuk pengendalian atas keinginan menguasai segala hal yang bisa dirasakan oleh indra. Tubuh yang direpresentasikan oleh indra, membawa manusia kepada keputusan yang kompleks.

“Tubuh dan indra-indra yang kita miliki bisa digunakan untuk melihat, mendengarkan, merasakan semua hal, akan tetapi keputusan untuk melihat, mendengarkan dan merasakan semua hal tersebut bersumber pada kemampuan kita mengolah rasa dan jiwa,” jelas Ari melalui keterangan tertulisnya kepada MNEWS pada Rabu, (7/3/2019).

Founder Beasiswa Bumi Setara (Beasiswa Khusus Difabel) ini menuturkan, Catur Brata tersebut simbol dari penguasaan atas diri dan keinginan. Jika umat Hindu bisa mengendalikan diri melalui Catur Brata dengan khusyuk, maka energi atau gelombang baik tersebut akan diterima oleh alam. Baginya, alam pun akan membantu memulihkan dirinya manusia di dalamnya, karena manusia juga adalah bagian dari alam.

“Alam pun bisa merasakan “istirahat”-nya walau sehari, termasuk manusia di dalamnya,” imbuhnya.

Fungsi Nyepi

Perempuan lulusan Kajian Budaya dan Media UGM yang aktif di berbagai kegiatan sosial khususnya untuk difabel ini memaparkan, ada tiga fungsi Nyepi yang krusial bagi umat Hindu. Pertama, fungsi spiritual untuk membersihkan semua kosmos yang ada, untuk kebaikan alam maupun kebaikan manusia secara pribadi.

Kemudian, fungsi penyadaran. Ari melanjutkan, saat Nyepi, umat Hindu akhirnya berinteraksi dengan diri sendiri, sehingga ruang kontemplasi akan muncul.

“Tanpa sadar, ada kesempatan untuk berbicara dengan diri sendiri. Menanyakan sejauh mana perjalanan hidup yang telah dilewati dan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup lainnya akan tergali sendiri,” kata dia.

Berikutnya adalah fungsi perekat hubungan kekeluargaan. Ritual Nyepi khususnya di Bali, lanjut Ari, akhirnya “memaksa” perusahaan untuk tutup dan meliburkan pegawainya. Yang akhirnya, melalui Nyepi, semua orang bisa berkumpul dengan keluarga dan kerabatnya di tengah kesibukan riuh industri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang berkumpul dan membeli banyak makanan untuk dinikmati bersama keluarga menjelang Nyepi.

Bagi Ari, Nyepi memiliki makna sendiri. Selain sebagai ruang kontemplasi, Nyepi juga merupakan momen untuk istirahat sepenuhnya, serta penyembuhan semesta. Setelah Nyepi, umat Hindu biasanya akan sembahyang atau mandi di pantai, serta mengunjungi kediaman keluarga, kerabat atau teman, dan melanjutkan aktivitas seperti sedia kala.

Ia berharap agar Nyepi dimaknai dengan sukacita, dan juga menjadi media menyayangi alam. Ini menjadi saat yang tepat bagi alam, hasil bumi, tumbuhan, hewan, dan sebagainya dapat beristirahat dari eksploitasi keinginan manusia.

Harapan untuk Damai dalam Keberagaman

Perempuan bernama lengkap Ni Ketut Ari Kesuma Dewi ini berpesan kepada masyarakat untuk memelihara keragaman dan tolerasi beragama. Ini dapat ditempuh dengan banyak cara. Salah satunya, pungkas Ari, terjun langsung ke lapangan.

Misalnya, terbuka berteman dengan teman dari manapun atau agama apapun. Jangan membeda-bedakan berdasarkan SARA, karena setiap manusia itu sama dan sederajat. Sesuai dengan Pancasila sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”, sifat-sifat Tuhan yang Maha Pengasih dapat menjadi pedoman kita yang utama dalam berinteraksi.

“Dalam menyayangiNya tidak ada istilah kompetisi. Menurutku, memelihara keberagaman dan toleransi beragama adalah wujud kasih sayang kita kepadaNya, karena sama sepertiNya yang tidak pernah pilih kasih dalam menyayangi,” tutup Ari.

Rahajeng Nyanggra Rahina Nyepi. Semoga dalam sunyi, kita dapat menemukan kembali nilai-nilai yang mempersatukan negeri.