Jakarta, MNEWS.co.id – Bisnis e-commerce saat ini tengah menggeliat, khususnya di kalangan milenial. Bisnis yang bisa dijalankan lewat genggaman tangan tersebut tidak hanya mengandalkan teknologi, tapi juga kemampuan bisnis untuk membaca peluang dan berinovasi.
Tommy Herdiyansyah, Founder Code Margonda, membagikan pengalamannya seputar bisnis e-commerce. Bertahun-tahun malang-melintang di dunia bisnis, CEO Terasia Media ini mengatakan, ke depan bisnis akan sangat dipengaruhi oleh teknologi. Bisa jadi, nanti tidak ada bisnis yang tidak menggunakan teknologi, dan semuanya bisa dikendalikan melalui aplikasi.
Ketika kita menikmati media sosial secara gratis, Ia mencontohkan, maka produknya bukan aplikasi tersebut, melainkan adalah pengguna itu sendiri. Kalau dulu, kita harus meminjam uang dengan persyaratan yang cenderung ribet dari bank, sekarang cukup mengunggah dokumen-dokumen yang diperlukan untuk meminjam dari tekfin (financial technology). Keseluruhan proses bisnis akan mengalami simplifikasi, dan ini mengandung dampak positif juga negatif.
“Setiap orang punya peluang yang sama untuk berbisnis di era industri 4.0 ini. Ada begitu banyak potensi teknologi yang bisa dimainkan dengan perputaran yang besar. Kita bisa lihat dari valuasi transaksi digital Indonesia tahun 2018, Gojek bernilai Rp 126 Triliun, penghasilannya 20 persen dari angka tersebut. Bukalapak Rp 48 Triliun, lalu ada Shopee dengan jumlah transaksi hingga 900 ribu per hari,” papar Tommy dalam acara Seminar Nasional Reformation: Reach Entrepreneur for Massive Industry 4.0, di auditorium lantai 4 Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, pada Selasa (30/7/2019).
Lebih lanjut, CEO Lakoka Indonesia tersebut mengatakan, untuk memperoleh revenue yang baik harus menggunakan business model yang terperinci sesuai dengan target pasar yang telah ditentukan. Ia mencontohkan business model Gojek, yang mengatur biaya 20% per transaksi, atau Kitabisa.com yang mengambil 5% dari setiap campaign, Bukalapak yang menyediakan fitur merchant premium di mana user bisa membayar biaya premium untuk fasilitas analisis data, market research di dashboard lapaknya, dan sebagainya. Dalam tiap business model akan menentukan langkah-langkah bisnis dan pengambilan keputusan ke depannya.
“Contoh lainnya, ada sistem bagi untung biasanya diterapkan oleh fintech, misalnya 60:40. Tahun ini, transaksi e-commerce masih di kisaran angka Rp 500-600 Triliun, tahun 2020-2021 diperkirakan jumlahnya akan melebihi Rp 1000 Triliun,” tambahnya.
Sebagai pelaku bisnis, kita juga harus memperhatikan bagaimana strategi menggunakan digital marketing melalui sosial media, seperti google ads, facebook ads, maupun instagram ads. Pada dasarnya, produk dari media sosial tersebut adalah user/pengguna yang tiap hari mengakses dan melakukan transaksi atau aktivitas di dalamnya. Data pengguna tersebut akan dijual kepada orang yang ingin beriklan, agar produknya bisa disesuaikan dengan targetnya.
“Social media ads, semua tentang algoritma. Jadi bisa tepat sasaran sesuai target market. Pengguna media sosial adalah produk bagi orang yang ingin beriklan. Disini, media sosial tidak hanya menjual big data ke pengiklan, tapi juga turut mengubah tatanan masyarakat karena dicekoki iklan,” tutupnya.