Suasana Tembi Rumah Budaya. Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)
Suasana Tembi Rumah Budaya. Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)

Yogyakarta, MNEWS.co.id – Bila berkunjung ke kota pelajar Jogjakarta, jangan lewatkan tempat unik satu ini. Tembi Rumah Budaya, terletak di Sewon, Bantul, selatan kota Jogjakarta, menyajikan keragaman budaya Jawa yang menarik untuk disimak. Tidak tanggung-tanggung, atmosfer nyaman serasa di rumah pun menjadi konsep yang diusungnya.

Awalnya, Tembi Rumah Budaya merupakan sebuah lembaga studi yang khusus menyimpan ribuan manuskrip Jawa. Seiring berjalannya waktu, pasca gempa yang sempat mengguncang kota Jogja, konsep tempat pun turut berubah menjadi sebuah museum sekaligus balai inap. Niatnya, menciptakan pengalaman tersendiri bagi para pengunjung.

Di lahan seluas 3.500 meter persegi ini, siapapun yang datang akan merasa teduh dan tenang, menikmati lanskap khas pedesaan dengan arsitektur omah adat Jawa yang akrab disebut dengan Rumah Limasan bernuansa kayu. Pengunjung yang datang juga akan dimanjakan dengan keramahan pengelola yang menyambut tamu seperti menyambut keluarga sendiri.

Arsitektur Rumah Limasan di Tembi Rumah Budaya. Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)

Usung Konsep “Rumah Nenek”

Uniknya, di Tembi Rumah Budaya ini secara menyeluruh terapkan konsep ‘Rumah Nenek’. Tiap tamu yang menginap akan disuguhi makan pagi, siang, dan malam, dengan coffee break di antaranya. Makanan dan minuman yang disajikan pun khas Tembi, seperti nasi goreng bakmi jawa, emprit goreng (burung pipit goreng), tongseng tupai, wedang uwuh, apem, dan masih banyak lagi.

“Disini yang paling laris itu nasi goreng bakmi jawa, kemudian yang paling unik dan sering dicari juga mprit goreng (burung pipit goreng). Itu salah satu destinasi kuliner, burung pipit pasti nyarinya di Tembi. Untuk mengurangi populasi hama bagi petani, maka burung pipit itu dimasak. Secara populasi burungnya berkembang banyak juga. Sama kita khasnya ada tongseng tupai,” papar Yopi Edo, Kepala Tembi Rumah Budaya kepada kontributor MNEWS Nurjanah Dwi, di Jogja, Selasa (2/1/2019).

Selain itu, disini juga tidak disediakan televisi di tiap kamar. Tujuannya, agar para tamu dapat fokus bercengkerama bersama keluarga dan tamu-tamu lain. Televisi hanya ada di ruang makan, sehingga tamu yang menginap bisa menonton bersama-sama. Nuansa kebersamaan dan kehangatan keluarga menjadi salah satu ciri khas Tembi Rumah Budaya.

Canting, cap, malam, dan peralatan membatik yang dipamerkan di Museum Tembi Rumah Budaya.
Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)

Ia pun menjelaskan konsep “Rumah Nenek” yang diusung Tembi bertujuan agar pengunjung bisa merasakan pengalaman menjadi masyarakat Jawa pedesaan dengan segala ritual dan filosofinya. Jadi, tidak hanya sekadar menawarkan kenyamanan dari segi tempat, tetapi juga nuansa budaya dan pengalaman keseharian yang apa adanya.

“Bisa dibilang Tembi ini koleksi museum yang hidup, yang punya experience untuk tamu ketika menginap di Tembi, ada pengalaman yang dibawa. Ini konsepnya seperti rumah Jawa zaman dulu, di rumah kakek-nenek,” ujar Yopi.

Salah seorang pengunjung yang bermalam di Tembi Rumah Budaya bersama keluarga, Setyawati, menuturkan kesan-kesannya selama menghabiskan waktu di sana. Menurutnya, pengalaman rumah nenek sangat mengena. Sebab baru pertama kalinya Ia menemukan tempat penginapan yang begitu kekeluargaan, hangat, dengan suasana tenang yang mendukung waktu berkualitas bersama keluarga.

“Kesannya puas, tenang, insya Allah balik lagi nanti ke sini. Pengalaman berasa rumah nenek sangat kena, ya. Nuansa tenang dan romantis juga,” tutur Setyawati.

Jangan khawatir dilanda bosan, karena ada berbagai hiburan dan edukasi menarik yang bisa mengisi waktu luang. Ada wisata budaya membatik, melukis topeng kayu, membuat kerajinan keramik dan tembikar, tatah sungging wayang, dan lainnya. Tamu yang menginap juga bisa melihat-lihat perpustakaan dan museum yang memamerkan aneka artefak kehidupan masyarakat pedesaan Jawa yang tidak ditemui di tempat lainnya.

Urip Lan Nguripi, Hidup Untuk Menghidupi

Lebih lanjut Yopi Edo menuturkan, filosofi hidup masyarakat Jawa yang kental di Tembi Rumah Budaya ini salah satunya adalah “Urip Lan Nguripi”, yang artinya hidup untuk menghidupi. Dalam artian, tidak hanya hidup untuk diri sendiri saja, konsep berbagi dan kebersamaan juga harus dijunjung. Maka, Tembi Rumah Budaya selalu melibatkan masyarakat setempat untuk memberdayakan ekonomi kreatif agar sama-sama menciptakan ekosistem yang sehat dan saling membangun. Pengunjung maupun tamu yang menginap di Tembi Rumah Budaya tidak hanya disuguhkan aneka budaya Jawa yang unik, tetapi juga diajak untuk terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat dan berinteraksi langsung tanpa adanya sekat.

Museum Tembi Rumah Budaya, menampilkan beragam artefak budaya Jawa.
Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)

Selain museum, perpustakan, dan konsep rumah nenek yang nyaman, Tembi Rumah Budaya juga menawarkan paket meeting dan wedding kepada masyarakat sesuai dengan konsep budaya Jawa yang diusungnya. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan pun diselenggarakan, seperti mocopatan, program pameran reguler yang bekerja sama dengan seniman lokal, kursus MC Jawa untuk memandu tata laksana upacara adat pernikahan Jawa, sanggar tari untuk ana-anak, hingga opera wayang.

Maka tidak heran, setiap bulannya ada saja banyak wisatawan yang liburan dan memperoleh kepuasan lahir batin di Tembi Rumah Budaya. Menurut Yopi, rata-rata sebulan tamu yang menginap di 3-5 rumah (balai inap) yang disediakan. Pada saat musim liburan bisa meningkat 80 hingga 90 persen. Tamu mancanegara didominasi oleh warga negara Perancis dan Jepang. Harga yang dipatok pun relatif terjangkau, dari harga Rp 400-600 ribuan per malam. Khusus musim liburan, harga naik hanya 20% saja. Ini merupakan strategi tersendiri untuk menarik pengunjung.

“Kalau untuk strategi khusus sih kita memang tidak ingin mematok harga terlalu tinggi, strateginya sih ya memang manfaatin momennya tapi tidak terlalu mencekik,” pungkas Yopi.

Jenis kamar yang paling diminati pengunjung antara lain Badegan, Polaman, dan Nadhirojo. Badegan sering laris karena harganya relatif murah, sedangkan Polaman langsung menghadap ke kolam renang sehingga bisa menjadi alternatif kamar yang bersaing. Sementara Ganjuran sering diminati pengunjung yang membawa keluarga.

Pemandangan dari Polaman yang menghadap langsung ke kolam renang dengan latar persawahan.
Foto: (doc/MNEWS-Nurjanah Dwi)

Yopi pun berharap Tembi bisa terus berkembang untuk meningkatkan ekonomi kultural masyarakat sekitar. “Mungkin kalau ditarik ke belakang, adanya warung, tempat cuci motor dan lain-lain di sekitar sini masih sepi. Sekarang ini sejak adanya Tembi, sudah jadi poin untuk ketemu. Bengkel depan Tembi Rumah Budaya bisa jadi mado, bisa jadi titik temu, ekonomi kultural setempat juga berkembang,” tandas Yopi.

Lebih lanjut, Ia juga berharap paket wisata budaya yang ditawarkan Tembi bisa selalu mengakar ke pengalaman tak ternilai bagi pengunjung, juga urip lan nguripi sebagai sebuah daerah sarat seni budaya dan jiwa sosial.

“Karena ketika kita menjual paket kan melibatkan masyarakat sekitar. Bajak sawah ke pak siapa, masak di rumah mbok siapa. Yang dijual utamanya experience, jadi akarnya kita itu. Harapannya orang-orang di dalam Tembi Rumah Budaya bisa tercapai keinginannya,” tutupnya.