Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih memimpin uji publik RUU Ekonomi Kreatif di D.I Yogyakarta. Foto: Jaka/jk (DPR).
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih memimpin uji publik RUU Ekonomi Kreatif di D.I Yogyakarta. Foto: Jaka/jk (DPR).

Yogyakarta, MNEWS.co.id – Rancangan Undang-Undang Ekonomi Kreatif (RUU Ekraf) saat ini tengah dalam uji publik. Tim Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI menjaring masukan terkait RUU Ekraf yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019 ini dari para pelaku ekonomi kreatif dan akademisi, baik secara tekstual maupun konstektual.

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih memaparkan aspirasi dari hasil uji publik agar dimasukkan ke dalam norma RUU Ekraf. Pertama, kata Fikri, tentang kelembagaan ekonomi kreatif. Para pelaku ekonomi kreatif mengeluh, selama ini mereka merasa tidak ada yang mengurus, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten atau kota.

“Para pelaku ekonomi kreatif mengeluh butuh pendampingan program dan selama ini tidak ada perlindungan. Misalnya, pelaku kreatif membuat kreativitas food truck, tetapi karena tidak ada yang mendampingi selalu dilarang Satpol PP, karena memang belum ada aturan hukumnya,” tutur Fikri saat memimpin pertemuan uji publik RUU Ekonomi Kreatif di DI Yogyakarta, dalam keterangan tertulis yang diterima MNEWS, Rabu (19/12/2018).

Berikutnya tentang pembiayaan, menurut Fikri, para pelaku ekonomi kreatif yang memiliki sertifikat Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) mengusulkan agar sertifikatnya bisa dijadikan jaminan untuk pembiayaan. Sebab, lembaga keuangan sampai sekarang masih membutuhkan kolateral jaminan, bukan sertifikat HAKI.

“Ini harus kita tindaklanjuti dalam penormaan di UU Ekonomi Kreatif ini. Bagaimana nantinya pemerintah bisa memberikan insentif kepada mereka yang memiliki HAKI,” tandas Fikri.

Ia menuturkan, ada salah satu pelaku ekonomi kreatif, yakni Soto Pak Ragil yang sudah memiliki ratusan cabang tapi tidak memiliki HAKI. Ia mengeluh karena karyanya dijiplak oleh orang lain, bahkan ditayangkan televisi.

“Bapak ini bersedih hati, tidak bisa berbuat apa-apa ketika karyanya dijiplak, mestinya secara formal para pelaku ekonomi kreatif ini memiliki sertifikat HAKI, difasilitasi dan dilindungi, inilah yang dikeluhkan mereka,” pungkas Fikri lagi.

Pada pembahasan awal RUU ini, proposal yang diajukan Badan Ekonomi Kreatif terkait bentuk kelembagaannya menjadi kementerian.”Seandainya jadi kementerian, berarti harus jelas deferensiasinya dengan kementerian lain. Jangan kemudian yang sudah dilakukan oleh Kementerian UMKM, Perindustrian dan kementerian terkait dilakukan juga oleh badan ekonomi kreatif,” jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengrajin, Timbul Raharjo, mengusulkan agar dalam UU ini diatur  bagaimana strategi mengembangan kreatifitas para pelaku ekonomi kreatif dengan cara memberikan stimulan.

“Ini sudah saya praktekkan, biasanya saya datang ke pameran-pameran, browsing di internet dan ke tempat kreatif lain. Dengan begitu, banyak memasuki pikiran kita dan ini bisa menstimulan kreatifitas. Misalnya nanti, pemerintah juga bisa mengirim orang-orang kreatif ini ke luar negeri,” terangya.

Kemudian, lanjutnya, Hak atas Kekayaan Intelektual ini kalau d luar negeri sudah menjadi komoditi yang bisa dibiayai. “Saya punya 267 sertifikat produk HAKI, setiap melakukam pameran mesti di sertifikatkan. Saya harap pemerintah dengan HAKI ini bisa menjadi agunan. Supaya orang-orang kreatif ini bisa menjadi lebih kreatif jika di biayai. Karena sebagian orang kreatif tidak punya jiwa entrepreneur,” tutupnya.

Sumber: DPR