Jemi (kiri) dan Rinto (kanan) di rumah Saparo. (Foto: Audrian Firhannusa)

Semarang, MNEWS.co.id – Jemi Nikolaus Rahangiar, perantau asal Ambon, Maluku, memadukan pengelolaan limbah tekstil dengan dunia mode. Bersama keluarganya, Jemi menciptakan kreasi unik dengan merek Saparo di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tidak sepenuhnya berorientasi bisnis, Ia mengedepankan ide-ide kreatif yang sebagian besar justru didapatnya dari jalanan.

Berbahan baku limbah tekstil, Saparo memproduksi beragam produk, mulai dari tas, baju, topi, hingga lukisan. Salah satu keunikannya, limbah tekstil ditenun menggunakan teknik sakiori dari Jepang pada produk-produk mereka. Potongan-potongan kain denim dijahit menjadi tas atau baju yang keren. Jemi mendapatkan limbah tekstil dari pengepul di Jakarta dan Semarang.

Rumah itu terletak di sebuah gang sempit yang berlokasi di Karanggawang, Tembalang, RT 4/ RW 14. Penghuni rumah tersebut, yakni Jemi Nikolaus dan Rinto banyak melakukan hal mulia dari limbah.

Jemi dan Rinto bukanlah asli orang Semarang. Mereka perantauan dari Ambon yang sudah melakukan banyak perjalanan sampai akhirnya tinggal dan menetap di Karanggawang itu. Limbah bagi dua saudara ini barangkali seperti teman sejak kecil. Pasalnya hidup di Ambon tidak seperti di Jawa.

Jemi mengatakan, di sana serba kekurangan dan memanfaatkan barang-barang bekas untuk bermain. Ketertarikannya pada limbah Ia bawa sampai kali pertama saat menempuh kuliah Jurusan Tata Busana di sebuah univeristas di Malang. Saat mendesain busana idenya tidak jauh-jauh dari limbah.

Tahun-tahun berjalan, Jemi terus membawa limbah sebagai ide andalannya. Kemudian dia ke Semarang dan mengenal banyak komunitas. Jemi pun mulai aktif berkegiatan seraya membuat menciptakan produk fasyen Saparo yang terbuat dari limbah tekstil.

Saparo sendiri merupakan rangkaian dari banyak hal. Mulai dari singkatan dari keluarganya yakni Shara (ibu), Paulus (ayah), dan Rosalina (bibi), serta juga berasal dari makna kata secara general yang berarti separuh atau ‘separo’ dalam bahasa Jawa.

Rumah Saparo merupakan tempat produksinya yang biasa disebut Studio Desain Limbah. Namun Jemi dan Rinto tidak hanya menjadikan rumah tersebut jadi tempat produksi dirinya belaka. “Saya mau bikin jadi workspace. Jadi nanti pegiat seni di Semarang bisa kumpul di sini,” tambahnya.

Meskipun itu masih menjadi cita-cita dan belum tersampai namun dalam sedikit waktu ini tujuan mulia itu sudah tampak. Jemi mengajarkan ibu-ibu sekitar untuk mengolah ulang limbah tekstil menjadi produk yang lebih berguna. “Saya sudah buat beberapa alat tenun. Di waktu-waktu tertentu saya bikin workshop,” ujar Jemi.

Bersama dengan Rinto, keduanya tidak hanya membuat olahan limbah menjadi pakaian saja. Tapi juga banyak barang lainnya, seperti asbak dari onderdil bekas, hiasan akrilik, dan berbagai interior seperti meja.