Ilustrasi UMKM. (Foto: Jateng Pos)

Jakarta, MNEWS.co.id – Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Produktivitas dan Daya Saing, Yulius mengungkapkan sederet problematika pelaku usaha mikro untuk naik kelas, terutama dalam mengakses pendanaan dari perbankan. Seringkali potensi usaha mikro tidak terlihat oleh lembaga keuangan formal, karena kurangnya informasi dan data.

“Pertama audit perbankan agak sulit dilakukan ke umkm mengingat sistem pembukuan yang low level, ini yang membuat sulit terdapat informasi yang simetris. Bank tidak mampu melihat potensial ultra mikro dan UMKM, mereka pun tidak bisa kasih informasi sebenarnya, ini menimbulkan gap. Gap ini dengan adanya Holding Ultra Mikro diharapkan bisa diselesaikan,” kata Yulius.

Pelaku usaha mikro diharapkan bisa terintegrasi sehingga persoalan yang selama ini ada bisa diselesaikan. Dengan begitu pengembangan ultra mikro dan UMKM bisa lebih terintegrasi, terkoordinasi dan efisien.

“Sehingga mereka dapat biaya lebih murah, jangkauan luas, masyarakat pun mudah mengajukan pembiayaan, dan pendampingan, ini yang penting,” ujarnya.

Yulius menambahkan saat ini pihaknya tengah mendorong perpindahan ultra mikro dan UMKM pindah dari informal ke formal. Saat ini baru ada 17,65 juta pelaku usaha mikro yang berhasil berpindah menjadi formal.

“Kami harapkan angka ini bertambah terus, dengan begitu mereka akan lebih mudah akses perbankan. Inilah yang kami butuhkan dari kehadiran Holding Ultra Mikro, selain pendanaan juga untuk pembinaan. Kami juga melakukan peningkatan koperasi menjadi koperasi modern diharapkan pendaan ultra mikro bisa dorong usaha produksi,” tambah Yulius.

Holding Ultra Mikro yang terdiri dari BRI, Pegadaian, dan Permodalan Nasional Madani menargetkan pada 2024 harus menyentuh 45 juta pelaku UMi. Sementara di 2022 ini nasabah baru ditargetkan bertambah 5 juta.