Acara penyusunan bahan Renstra Kementerian Koperasi dan UKM 2020-2024, di Jakarta, Selasa (12/2/2019). Foto: Kemenkop.
Acara penyusunan bahan Renstra Kementerian Koperasi dan UKM 2020-2024, di Jakarta, Selasa (12/2/2019). Foto: Kemenkop.

Jakarta, MNEWS.co.id – Koperasi berpotensi menjadi tulang punggung pengusaha mikro yang jumlahnya mencapai puluhan juta pengusaha. Pasalnya UMKM khususnya usaha mikro, merupakan pengusaha yang rentan karena pembinaannya dilakukan secara individual.

Pengamat koperasi, Suroto menuturkan, pelaku usaha mikro perlu diayomi dan diwadahi. Dan koperasi adalah wadah yang tepat.

“Mereka sangat rentan, kadang hasil jualannya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari sehingga modalnya habis, sehari buka besoknya libur. Ini yang harus diayomi dan diwadahi dalam bentuk koperasi, sehingga pembinaannya bisa dilakukan secara kelembagaan,” ujar Suroto, saat menjadi narasumber dalam penyusunan bahan Renstra Kementerian Koperasi dan UKM 2020-2024, di Jakarta, Selasa (12/2/2019) dilansir dari siaran pers Kementerian Koperasi dan UKM.

Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) mengatakan, dari sisi regulasi, juga harus ada kebijakan yang mendorong perkembangan koperasi sebagai salah satu pelaku perekonomian Indonesia.

“Kuncinya adalah keberpihakan, bagaimana mendorong regulasi yang sektoral supaya tidak mengunci perkembangan koperasi di tanah air, misalnya insentif fiskal,” ujarnya.

Ia memberi contoh bagaimana mengguritanya bisnis NTUC di Singapura yang kini menguasai 73 persen pasar ritel di negeri singa itu, yang membuat raksasa ritel seperti Carefour dan Gelael protes. 

“Jawaban pemerintah Singapura gampang saja, kalau dua perusahaan itu mau seperti NTUC maka diharuskan badan hukumnya berubah menjadi koperasi,” kata Suroto.

Kenapa NTUC di Singapura mendapatkan insentif fiskal yang membuatnya cepat berkembang? Hal itu menurut Suroto, karena NTUC sudah melaksanakan keadilan dengan melakukan redistribusi sehingga mendpaat insenti fiskal sebagai hak moralnya.

Faktor ketiga yang harus menjadi perhatian adalah, di era revolusi induri 4.0 saat ini, koperasi mau tak mau harus mengakselerasi diri mengikuti peerkembangan dan kebutuhan di era digital. 

“Kenapa koperasi sekarang terkesan tidak updatable, hal itu antara lain karena habitat dan ekosistemnya tidak mendukung kesana,” ujar Suroto, yang juga Ketua Umum Kosakti itu.

Ekosistem Bisnis 

Sementara itu Rendy Saputra CEO Keke Busana mengatakan, arah kebijakan koperasi ke depan sebenarnya sederhana saja, yaitu mendorong koperasi berbasis sektor riil untuk bisa  membangun ekosistem bisnis yang dimiliki bersama.

Misalnya petani banyak mengalami kesulitan dalam menjual padi, kalaupun laku seringkali tempat penggilingan padi harganya jatuh. Nah misalkan ada 100 petani kalau bersama -sama membangun rice milling, selanjutnya dengan produksi yang lebih besar, maka akan lebih mudah memasarkannya baik keluar maupun untuk kebutuhan anggotanya sendiri.

“Petani kan banyak yang belum sampai ke tahap sana, disini perlu adanya edukasi  bagaimana mengubah pola pikir petani agar bisa menciptakan sendiri ekosistem bisnisnya dengan cara melakukan industrialisasi yang dilakukan secara bersama-sama,” katanya.

Di mata Rendy, koperasi saat ini adalah ibarat sebuah puzzle yang hilang. Karena tren sekarang adalah banyak orang berkelompok, misalkan 50 atau 100 orang kalau melakukan bisnis bersama.

“Nah mereka bingung wadahnya itu apa, karena kalau secara sembunyi-sembunyi mereka bisa di katakan bisnis gelap, disinilah kebutuhan akan koperasi itu muncul. Kita perlu melakukan banyak edukasi kepada mereka maupun yang saya bilang tadi ke petani produsen bahwa koperasi adalah wadah usaha yang tepat untuk tren bisnis saat ini,” katanya.

Hal ini membuktikan bahwa koperasi bisa menciptakan ekosistem bisnis yang menunjang bagi para pelaku usaha mikro termasuk petani, yang selama ini kesulitan dalam menjual hasil produksinya.