Aktivitas perajin topeng kayu di Yogyakarta yang menjadi salah satu UMKM penyangga sektor pariwisata. (Foto: Pribadi Wicaksono)

Jakarta, MNEWS.co.id – Sejumlah permasalahan masih dirasakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk masuk ke pasar digital. Di antaranya literasi digital yang belum merata dan rendahnya kapasitas produksi UMKM, sehingga kerap kesulitan saat menerima banyak permintaan dari pasar online.

Selain itu, dari sisi pembiayaan banyak pelaku UMKM belum memiliki pembukuan dan administrasi keuangan yang tertata. Sehingga akuntabilitasnya menjadi rendah saat berhadapan dengan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman modal. Dengan demikian, diperlukan ekosistem digital dari hulu hingga hilir dan berkelanjutan agar UMKM menjadi lebih berdaya saing dan lebih maju.

Rekomendasi itu tertuang dalam diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama CrediBook bertema “Pentingnya Ekosistem Digital untuk UMKM Naik Kelas”. Diskusi tersebut menghadirkan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, CEO & Co-Founder CrediBook Gabriel Frans, dan Director Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menjelaskan, digitalisasi terbukti membantu UMKM bertahan dan tumbuh saat pandemi. Jumlah UMKM yang terhubung dengan platform digital meningkat 105% menjadi 16,4 juta pelaku UMKM. Pada 2024 mendatang, jumlah UMKM yang terhubung dengan platform digital ditargetkan bertambah hingga mencapai 30 juta UMKM.

“Kami menyadari betul pentingnya UMKM masuk ekosistem digital agar bisnisnya menjadi lebih efisien, rantai perdagangan menjadi lebih pendek, serta pasarnya semakin luas. Karena itu, Kemenkop dan UKM terus mendorong transformasi dan percepatan digital dengan mengembangkan ekosistem digital dari hulu ke hilir,” ujar Teten.

Ia menambahkan, digitalisasi tidak hanya untuk pemasaran dan penjualan tetapi proses bisnis dari hulu ke hilir juga harus digital.

“Pembukuan dan laporan keuangan UMKM dapat dibuat digital sehingga bisa membuat UMKM lebih akuntabel dan mudah mendapat pinjaman modal dari lembaga pembiayaan formal,” tambahnya.

Senada dengan Teten, CEO dan co-founder CrediBook, Gabriel Frans mengatakan digitalisasi UMKM tidak hanya mengenai pemasaran tetapi perlu memperhatikan aspek operasional usaha seperti pengelolaan keuangan, pengadaan barang, dan manajemen pesanan. Saat ini, Credibook telah mengembangkan aplikasi digital untuk membantu kebutuhan operasional UMKM dalam satu ekosistem digital.

“Digitalisasi pengelolaan keuangan melalui aplikasi CrediBook membuat UMKM mudah dan cepat dalam mencatat laporan keuangan. Pencatatan secara manual bisa memakan waktu 2-3 jam dengan digital hanya butuh kurang dari 5 menit. Selain itu, laporan keuangan yang bisa diunduh di CrediBook juga sudah memberikan dampak nyata dalam membantu pengguna mendapatkan pinjaman KUR,” ucap Gabriel.

Untuk memudahkan para peritel di sisi pengadaan barang, CrediBook bermitra dengan pelaku grosir konvensional melalui layanan toko grosir online CrediMart. Saat ini CrediMart sudah hadir di lebih dari 20 kota.

Dalam kesempatan yang sama, Director Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengakui UMKM kesulitan naik kelas salah satunya karena belum mengoptimalkan digitalisasi. Terdapat sejumlah kendala tidak optimalnya digitalisasi UMKM seperti akses internet yang belum merata hingga management skills UMKM yang masih tradisional terutama pencatatan laporan keuangan.

Menurut Bhima, kehadiran ekosistem pembukuan digital dapat mempermudah tracking aliran uang di UMKM mengingat transparansi dan pengendalian keuangan sangat dibutuhkan pelaku usaha