Ilustrasi pelaku UMKM. (Foto: ANTARA FOTO/Syaiful Arif/rwa)

MNEWS.co.id – Perkembangan teknologi telah mengubah lanskap bisnis secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dan salah satu perubahan terbesar adalah munculnya “social commerce“.

Meskipun konsep ini telah membuka peluang bisnis baru bagi pelaku UMKM di Indonesia, berbagai pihak merasa pentingnya untuk mempertimbangkan aturan yang mengatur bidang ini.

Belakangan, pemerintah Indonesia berencana merumuskan aturan yang akan mengatur “social commerce” di negara ini. Meskipun niatnya baik, langkah ini juga memunculkan beberapa pertanyaan dan keprihatinan. Oleh karena itu, sebelum aturan “social commerce” disahkan, sangat penting untuk mengadakan uji publik terlebih dahulu.

Asosisasi E-commerce Indonesia (idEA) menyarankan Pemerintah untuk melakukan uji publik terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020, yang juga ikut mengatur terkait isu social commerce, sebelum aturan tersebut benar-benar disahkan.

Ketua idEA Bima Laga mengatakan, uji publik itu sebaiknya dilakukan agar baik industri maupun masyarakat sebagai konsumen bisa lebih optimal merasakan manfaat dari regulasi yang telah diperbarui itu.

“Uji publik untuk aturan ini (revisi Permendag 50/2020) sangat penting, jangan sampai tiba-tiba aturan sudah disahkan, tapi, malah akhirnya membuat keriuhan di lapisan masyarakat, kata Bima dilansir MNEWS.co.id dari Antara, Senin (18/9/2023).

Usulan tersebut juga menjadi tanggapan dari pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang baru-baru in mengatakan industri yang menyediakan social commerce, yaitu metode berjualan digital di media sosial, harus memisahkan izin antara usaha media sosial dan usaha perdagangan digitalnya. 

Pemisahan bentuk izin tersebut akan diatur dalam revisi Permendag nomor 50 tahun 2020, yang saat ini mash dalam tahapan harmonisasi di tingkat kementerian dan lembaga.

Terkait dengan pengaturan kebijakan untuk social commerce yang diakomodasi dalam revisi Permendag 50/2020, Bima mengatakan sebenarnya pemerintah telah meminta aspirasi dari para pelaku industri termasuk kepada asosiasi.

Dari sisi pelaku industri, idEA secara umum menyampaikan bahwa social commerce merupakan inovasi dan bagian dari transformasi perdagangan digital. Kehadiran inovasi tersebut dinilai menjadi kanal baru yang bisa dimanfaatkan penjual yaitu pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk meningkatkan bisnisnya dengan bentuk yang lebih interaktif.

Bahkan pertambahan kanal baru tersebut dinilai bisa memperkaya pengalaman masyarakat dalam berbelanja baik secara luring dan daring.

Namun, setelah proses penyampaian aspirasi selesai, hingga saat ini perubahan untuk pengaturan kebijakan itu belum dibagikan kepada industri.

idEA sebagai asosiasi berharap uji publik dapat dilakukan terhadap revisi Permendag 50/2020 sebelum disahkan agar dapat diketahui kebijakan baru yang disusun bisa memberi dampak positif atau sebaliknya baik kepada industri, masyarakat, dan juga perekonomian negara.

Meski demikian, Bima menegaskan karena seluruh anggota idEA merupakan badan usaha yang telah memiliki legalitas di Indonesia, apapun keputusan yang akan dikeluarkan pemerintah dalam bentuk aturan pasti akan diikuti oleh seluruh anggota asosiasi e-commerce.

“Hal yang pasti karena anggota idEA berbadan hukum di Indonesia, maka apapun keputusan yang nantinya dikeluarkan pemerintah, itu kami pasti tunduk pada aturan tersebut,” kata Bima.