
Jakarta, MNEWS.co.id – Pemerintah baru-baru ini merilis tiga kebijakan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI untuk menggairahkan ekosistem investasi dalam negeri, serta mengurangi dampak tekanan ekonomi global terhadap defisit neraca transaksi berjalan. Pada paket kebijakan ekonomi ke-16, tiga bidang seperti perluasan fasilitas pajak, pelonggaran Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan direvisi. Keputusan ini disambut baik oleh Kamar Dagang Indonesia (Kadin).
Ketua Umum Kadin Roesan Perkasa Roeslani, mengatakan, pemerintah dinilai sudah saatnya merilis paket kebijakan guna merespons kondisi perekonomian saat ini. Terkait tax holiday misalnya, pemerintah sudah seharusnya melakukan perbaikan.
Karena secara historis, peminat insentif tersebut masih sangat sedikit karena prosedurnya yang rumit dan berbelit, selain juga terkait jangka waktunya yang menurutnya tak pasti. “Banyak hal teknis yang membuat kebijakan ini tak menarik,” kata Rosan di Batam, Kepulauan Riau, akhir pekan lalu dilansir dari Katadata.
Sementara terkait DNI, sudah seharusnya Indonesia terbuka karena kompetisi antarnegara sudah semakin kompetitif. Indonesia terus didorong untuk lebih berdaya saing dan berperan dalam rantai pasok global agar Unit Kecil Menengah (UKM) pun bisa lebih diberdayakan.
“Masukan kami, industri yang sudah mature DNI-nya mungkin lebih bisa dibuka,” pungkasnya.
Pro-kontra mengenai DNI diakuinya memang selalu ada, misalnya pembukaan DNI untuk bidang teknologi. Namun jika sudah dibuka, seperti e-market place harapannya sektor ini bisa meningkatkan penjualan barang dari UKM yang kontribusinya saat ini hanya sekitar 5%.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai, saat ini masih banyak kendala paket kebijakan terutama terkait penerapannya di lapangan. Hal itu yang menyebabkan banyak kebijakan pemerintah kemudian menjadi kurang berdampak.
Seperti misalnya terkait tax holiday dan insentif fiskal yang sejak diluncurkan pemerintah belum banyak pengusaha yang bisa memanfaatkan karena prosesnya yang lama. Beda halnya, jika pemerintah misalnya menetapkan insentif pada investasi di suatu kawasan pasti akan lebih menarik. Tapi itu pun menurutnya masih normatif, karena ada juga investor yang sudah masuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) belum mendapat insentif.
Demikian halnya dengan revisi DNI yang menurutnya terlalu berlebihan. Sebab, banyak sekali aturan DNI itu hanya persyaratan kerja sama atau kemitraan tetapi dimasukan ke DNI. Sehingga banyak sektor yang terkena DNI, meskipun asing hanya menguasai sebagian kecil kepemilikan saham.
“Problem kita ada di implementasi. Banyak kebijakan yang hingga saat ini belum dijalankan, seperti paket kebijakan ketiga yang sejak diluncurkan sampai saat ini belum dijalankan dan banyak dikeluhkan pengusaha. Jadi daripada banyak memberi janji, dikhawatirkan justru akan menimbukkan ketidakpercayaan kepada investor,” katanya.
Karenanya aturan yang diperlukan adalah kemudahan. Artinya bagaimana pemerintah membuat peraturan yang sederhana namun bisa menyelesaikan persoalan yang krusial.
Dalam paket kebijakan 16 mengenai daftar negatif investasi, pemerintah mengatakan, ada 54 bidang usaha yang terbuka untuk kepemilikan penanaman modal asing (PMA) hingga sebesar 100%.
“Tadinya mungkin hanya 30%, 49%, 67% menjadi 100% karena setelah dievaluasi tidak masuk-masuk investasi pada 54 bidang usaha,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Kebijakan ini bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan arus Penanaman Modal asing (PMA) ke dalam negeri. Tak hanya investasi asing, mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut juga mengatakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan koperasi juga akan terbantu dengan kebijakan ini.
“Ada yang dulu bukan mitra tapi kami cadangkan sekarang untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah,” kata Darmin.
Sumber: Katadata