Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sedang menggodok aturan perpajakan untuk kegiatan e-commerce yang akan diterapkan agar tidak mengesampingkan kewajiban pajak para pelaku online shop di media sosial.
Dengan kata lain, pelaku usaha yang memakai media sosial untuk berjualan tetap harus membayar pajak dan mencantumkannya di laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
“Mereka tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan self assessment. Kalau jualan di Instagram, ya lapor penghasilan jualan dari situ berapa, di SPT,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama.
Untuk saat ini memang belum ada regulasi yang mengatur secara spesifik berkenaan dengan kegiatan usaha e-commerce yang dilakukan lewat media sosial, jelas Yoga.
Hal ini turut jadi perhatian pelaku e-commerce, seperti marketplace, karena regulasi yang akan datang secara khusus mengatur ketentuan perpajakan mereka, sementara yang berjualan di media sosial belum ada.
Pihaknya sampai saat ini masih membahas lebih lanjut tentang aturan pajak e-commerce. Yoga memastikan, setelah aturan tersebut keluar, bukan tidak mungkin DJP akan merumuskan aturan lain yang lebih spesifik untuk pengusaha online shop yang berjualan di media sosial.
Terkait pembahasan mengenai aturan pajak e-commerce, masih menunggu perkembangan terakhir data jumlah pelaku e-commerce dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) yang nantinya diserahkan kepada Badan Pusat Statistik (BPS).
Setelah data tersebut diterima BPS, akan dilanjutkan dengan analisa daftar pelaku e-commerce serta melengkapi komponen apa saja yang harus disertakan dalam aturan tersebut guna menciptakan ketentuan yang adil dan tidak berat sebelah.