Ilustrasi. Foto: Mark Wiens.
Ilustrasi. Foto: Mark Wiens.

Jakarta, MNEWS.co.id – Menghadapi era industri 4.0, sektor usaha domestik perlu melakukan up-scaling agar bisa beradaptasi dengan berbagai kemunculan lapangan kerja baru maupun pekerjaan yang nantinya akan tergantikan. Pengembangan keterampilan menjadi isu utama ketenagakerjaan untuk mendukung era industri 4.0 mendatang.

Ketua Umum APINDO, Hariyadi B. Sukamdani beranggapan bahwa era Industri 4.0 akan memunculkan penciptaan sejumlah pekerjaan baru yang sebelumnya tidak ada serta menggeser beberapa posisi pekerjaan yang menyebabkan shifting pekerjaan. Pekerjaan baru nantinya tidak hanya muncul dalam proses produksi, namun juga berkembang ke supply chain, logistik dan Research & Development.

Memasuki era disrupsi teknologi atau Revolusi Industri 4.0, pelaku usaha di berbagai sektor industri dituntut melakukan penyesuaian sehingga tercapai sasaran efisiensi bagi kepastian besaran biaya produksi yang menjadi tolak ukur dunia usaha dan industri.

“Penciptaan efisiensi biaya produksi dan hasil produksi yang berlipat dapat diupayakan melalui pengembangan dan penyegaran industri manufaktur Indonesia yang berbasis ekonomi digital dalam memasuki era Industri 4.0,” terang Hariyadi dalam Seminar “Embracing Industry 4.0 Opportunity” yang digelar APINDO bekerjasama dengan McKinsey & Company Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, dalam konteks Hubungan Industrial baik bipartit maupun tripartit, Hariyadi menilai tantangan Industri 4.0 harus disikapi dengan karakter dan pola baru.

“Sudah saatnya Hubungan Industrial tidak lagi berkutat pada persoalan konvensional seperti freedom of association, collective bargaining, pengupahan dan sebagainya. Hubungan bipartite dan tripartite saat ini diharapkan lebih menekankan pada upaya skill development dan dialog sosial sebagai platform baru Hubungan Industrial,” paparnya.

Ia menambahkan, industri manufaktur berkontribusi penting bagi perekonomian, terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja. Sejak tahun 1990 hingga 1996, pertumbuhan sektor manufaktur non-migas Indonesia mencapai 12% (yoy). Sebelum krisis 1998, pertumbuhan PDB sektor manufaktur non-migas berkisar 13% hingga 14% per tahun.

Setelah 1998, pertumbuhan PDB sektor non-migas turun di kisaran 3% sampai dengan 5%, dan selalu berada di bawah angka pertumbuhan PDB total. Di periode 2007 dan setelahnya, pemulihan manufaktur kembali menghadapi tantangan yang berasal dari krisis keuangan global.

Namun, kebijakan Pemerintah yang berpihak pada sektor manufaktur melalui berbagai perangkat regulasi ternyata mampu mempertahankan performansi sektor manufaktur, tercermin dari kenaikan produksi sektor manufaktur berskala menengah dan besar yang mencapai 5,6% (yoy).

Sejalan dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), Revolusi Industri 4.0 diharapkan dapat meningkatkan daya saing Indonesia pada era globalisasi ini melalui program – program Strategic Partnership yang juga diinisiasi oleh APINDO melalui International Strategic Partnership Centre (ISPC).

Lebih lanjut, APINDO mengapresiasi usaha Pemerintah yang telah menetapkan kenaikan anggaran pengembangan SDM di RAPBN 2019 menjadi Rp 14 triliun.

“Untuk itu, APINDO secara khusus meminta Pemerintah memperhatikan efektivitas dari anggaran tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas SDM di sejumlah sektor prioritas,” tutup Hariyadi.

Sumber: APINDO