Ilustrasi. Foto: Technoserve.
Ilustrasi. Foto: Technoserve.

Jakarta, MNEWS.co.id — Usaha kakao di Indonesia masih perlu berbagai peningkatan, salah satunya perlussan akses pasar.

Selama ini, produksi kakao Indonesia yang terbilang stagnan perlu mendapatkan perhatian. Petani lokal membutuhkan beberapa hal, dua di antaranya adalah melakukan proses fermentasi biji kakao dan juga jalan untuk mendapatkan jaminan atas akses pasar.

Fermentasi biji kakao masih jarang dilakukan oleh petani lokal. Padahal proses ini sangat penting untuk mendapatkan produk turunan biji kakao yaitu bubuk kakao. Dengan demikian, proses ini juga memperluas pangsa pasar kakao Indonesia.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya mengatakan, petani lokal membutuhkan pendampingan lapangan dan informasi berdasarkan riset mengenai benih apa yang bagus untuk ditanam.

Hal ini dilakukan agar petani-petani tersebut boleh mendapatkan sertifikasi internasional (UTZ & USDA Organic), dimana sertifikasi inilah yang akan menjamin bahwa produk petani-petani kakao memiliki kualitas yang tinggi dan bisa dilirik pembeli besar skala internasional.

Sementara itu, selain memastikan kualitas produk kakao petani sudah memenuhi standar internasional, mereka juga membutuhkan jaminan akan adanya akses pasar. Praktek yang dilakukan beberapa lembaga non pemerintah terhadap petani kakao dapat dijadikan evaluasi, seperti turun langsung untuk mencarikan pembeli bagi para petani.

“Program kerja sama dengan lembaga-lembaga perbankan yang bersedia memberikan pinjaman kepada petani-petani kakao untuk membeli kebutuhan-kebutuhan bertani seperti pupuk, pestisida dan masih banyak lagi juga sangat dibutuhkan,” tambah Mercyta dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (14/6/2019).

Tanaman kakao adalah tanaman yang memiliki biaya produksi tinggi. Untuk menanam kakao pada satu hektar luas lahan, dibutuhkan 500kg pupuk dengan harga sekitar Rp 5.600.000, 5 liter pestisida yang harganya mencapai Rp 1.400.000 dan biaya-biaya tambahan lainnya seperti bantuan buruh tani, alat-alat menggunting dan menanam, yang kira-kira membutuhkan dana sebesar Rp. 1.960.000.

Selain itu, kebanyakan yang selama ini terjadi adalah petani kakao Indonesia kerap menjual hasil produksi mereka secara “asalan”, mengingat mereka tahu persis kualitas dari biji kakao olahannya sangat rendah, diakibatkan kurangnya pemeliharan tanaman yang mereka lakukan.

Data dari Food and Agriculture Association (FAO) menunjukan bahwa pada tahun 2013, Indonesia memproduksi, secara kesuluruhan 729.000 ton/tahun, dimana kala itu, Pantai Gading sebagai produsen terbesar kakao dunia mencapai angka produksi sebesar 1.448.992 ton/tahun dan diikuti oleh Ghana dengan angka produksi 835.466 ton/tahun. Dibandingkan dengan Pantai Gading, Indonesia hanya mampu memproduksi setengah dari total produksi Negara penghasil kakao terbesar dunia tersebut.

Setelah empat tahun berlalu, produksi kakao yang diharapkan meningkat justru menunjukan fakta sebaliknya. Data terakhir dari FAO menunjukan bahwa pada tahun 2017, Pantai Gading mencapai total produksi sebesar 2.034.000 ton/tahun, disusul dengan Ghana di angka 883.652 ton/tahun, dan Indonesia di angka produksi 659.776 ton/tahun. Data dari FAO ini-pun masih ditentang keabsahannya, karena menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), di tahun 2017 total produksi kakao Indonesia hanya mencapai 315.000 ton/tahun. Jumlah ini menurun dari total produksi 2013, yang dilansir ASKINDO hanya mencapai angka 450.000 ton/tahun.