Keraton Ratu Boko. Foto: (doc/MNEWS).
Keraton Ratu Boko. Foto: (doc/MNEWS).

Yogyakarta, MNEWS.co.id – Selain pesona kemegahan bangunan dari sudut arsitektural, Keraton Ratu Boko juga  menyiratkan pesan-pesan terkait kehidupan terkait dengan spirit leluhur di dalamnya. Pesan inilah yang sejatinya perlu kita tangkap dari keberadaan Keraton Ratu Boko sebagai warisan peninggalan nenek moyang kita.

Di balik kemegahan bangunan dan keindahan suasananya, Keraton Ratu Boko menyimpan suatu ajaran luhur yang berakar dari hasil pemikiran asli Rakai Panangkaran, seorang raja dari Dinasti Syailendra yang memakzulkan diri dari kehidupan duniawi. Ia mengembangkan ajarannya di Abhayagiri Vihara, bentuk paling awal dari kompleks bangunan Keraton Ratu Boko. Ajaran ini selanjutnya dalam Buddhisme disebut Bodichitta.

Dalam ajaran Buddha, Bodichitta merupakan suatu kondisi jiwa pencerahan yang tercermin ke dalam setiap tindakan dan komitmen untuk secara terus-menerus menyebarkan cinta kasih dan menghidupkan kepedulian terhadap penderitaan orang lain di dalam diri. Inti ajaran ini adalah sikap altruistik yang harus dimiliki setiap manusia untuk lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri.

Dalam kaitannya mengapa Keraton Ratu Boko sempat dinamai Abhayagiri, karena Rakai Panangkaran berhasil menghembuskan ruh ajaran luhur tersebut ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat kala itu. Rakyatnya mempunyai budi pekerti yang luhur, sehingga kondisi aman, tertib dan teratur dapat tercipta di tempat itu.

Salah satu bagian reruntuhan bangunan di kompleks Keraton Ratu Boko. Foto: (doc/MNEWS).

Konon, gema ajaran luhur Bodichitta menarik perhatian seorang pandita yang berasal dari daerah perbatasan India dan Bangladesh bernama Atisha. Selama belajar dengan Dharmakirti, seorang maha pandita Agama Budha di Kerajaan Sriwijaya, Atisha juga menyempatkan diri berkunjung ke Pulau Jawa, di mana bangunan-bangunan megah yang mengandung inspirasi spiritual yang mendalam berdiri, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Keraton Ratu Boko itu berada.

Setelah belajar selama 12 tahun di Sumatera, Atisha membawa ajaran Bodichitta ke Tanah Tibet untuk disebarluaskan, dan sampai saat ini ajaran tersebut masih diajarkan oleh Dalai Lama kepada para muridnya di seluruh penjuru dunia.

Keraton Ratu Boko bukan hanya onggokan bebatuan yang tidak berarti, tetapi merupakan suatu inspirasi bagi kita untuk hidup harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, serta alam sekitar yang tercermin dari bentuk fisik bangunan dan ajaran luhur untuk menjadi “manusia seutuhnya” seperti apa yang pernah lahir di tempat itu.

Pada dasarnya, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Bodhicitta juga ditemukan dalam ajaran agama manapun yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama, maka bukan merupakan suatu alasan bagi kita untuk tidak dapat mengaplikasikannya karena latar belakang religi yang berbeda.

Sumber: PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko (Persero)