Photo by Pablo Merchán Montes on Unsplash.
Photo by Pablo Merchán Montes on Unsplash.

Jakarta, MNEWS.co.id – Produksi tanaman kakao untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor dinilai masih minim. Pasalnya, pemerintah masih belum melibatkan sektor swasta dalam upaya meningkatkan produksi kakao.

Berbagai inisiasi yang dilakukan sektor non-pemerintah (swasta dan lembaga swadaya masyarakat) dalam sektor ini yang berhasil dan patut dijadikan bahan pertimbangan untuk meninjau ulang kebijakan pemerintah untuk tanaman kakao. Dalam hal ini, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bisa berkontribusi mengisi celah peluang produksi kakao. Terutama di sektor agribisnis. Namun, hal ini tentu butuh dukungan pemerintah sebagai penentu kebijakan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya mengatakan, lembaga swadaya dan pihak swasta adalah pihak-pihak yang betul-betul terjun langsung dan memantau kondisi di lapangan. Mereka bukan hanya sekali atau dua kali, tapi terus-menerus secara berkelanjutan. Mereka tahu secara terperinci apa kendala petani setiap harinya, dan jika ada perubahan, baik itu harga global, atau standar kualitas global, mereka inilah yang akan lebih dahulu tahu.

Mercyta menjelaskan, metode-metode seperti menjamin akses pasar, fermentasi dan adanya jaminan untuk meminjam modal usaha dari bank, adalah beberapa metode yang sangat bisa ditiru pemerintah untuk dijadikan kebijakan kakao nasional. Hal ini dinilai bisa meningkatkan produksi kakao.

“Pemerintah harusnya bisa memberdayakan organisasi lebih sering lagi, sebagai forum untuk pemerintah dan sektor non-pemerintah bertukar ilmu dalam membahas permasalahan-permasalahan kakao nasional. Hal ini diperlukan agar pemerintah tahu detil tentang fakta apa yang terjadi dilapangan, sehingga solusi yang dicanangkan akan tepat sasaran,” jelasnya kepada MNEWS.co.id pada Selasa, (2/4/2019).

Salah satu alasan mengapa rata-rata produktivitas petani kakao nasional sangat rendah bukan karena mereka tidak mengetahui teknik-teknik penanaman kakao yang baik. Akan tetapi, mereka merasa tidak punya dana yang cukup untuk memelihara tanaman kakao secara maksimal, ditambah pendapatan mereka dari menjual biji kakao kerap tidak menutup biaya produksi yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mereka kurang termotivasi dan mengurus tanaman kakao mereka dengan metode ‘seadanya’.

Walaupun begitu, Mercyta mengatakan, pemerintah juga sudah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan produksi kakao nasional. Antara 2009 hingga 2013 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah mengucurkan dana Rp 4 triliun untuk program GERNAS kakao. Program ini berhasil memperluas total area perkebunan kakao sebesar 430.000 hektar.

Di era Presiden Joko Widodo, Kementerian Pertanian membagikan 18,3 juta benih kakao dalam bentuk batang utama, memperluas lahan kakao di empat provinsi dan enam kabupaten dengan anggaran dana Rp 15,03 miliar. Pemerintah juga melakukan peremajaan kakao dengan anggaran Rp 84,53 miliar (Ditjenbun Kementan, 2018).

“Selama ini, Indonesia terkenal selama ini sebagai salah satu produsen terbesar kakao dunia, menyusul negara-negara Afrika yaitu Pantai Gading dan Ghana. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut, status produsen kakao ketiga terbesar dunia sedang terancam, dan ini patut dipertanyakan, apakah ada yang kurang dengan kebijakan pemerintah selama ini?” terangnya.

Data Food and Agriculture Association (FAO) pada 2013 menunjukan bahwa, Indonesia memproduksi, secara kesuluruhan 729.000 ton/tahun, dimana kala itu, hasil produksi Pantai Gading sebagai produsen terbesar kakao dunia mencapai angka produksi sebesar 1.448.992 ton/tahun dan diikuti oleh Ghana dengan angka produksi 835.466 ton/tahun. Dibandingkan dengan Pantai Gading, Indonesia hanya mampu memproduksi setengah dari total produksi Negara penghasil kakao terbesar dunia tersebut.

Mercyta melanjutkan, data FAO 2017 menunjukkan, Pantai Gading mencapai total produksi sebesar 2.034.000 ton/tahun, disusul dengan Ghana di angka 883.652 ton/tahun dan Indonesia di angka produksi 659.776 ton/tahun. Data dari FAO ini-pun masih ditentang keabsahannya, karena menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), di tahun 2017 total produksi kakao Indonesia hanya mencapai 315.000 ton/tahun. Jumlah ini menurun dari total produksi 2013, yang dilansir ASKINDO hanya mencapai angka 450.000 ton/tahun.