Ilustrasi. Foto: Pexels.
Ilustrasi. Foto: Pexels.

Jakarta, MNEWS.co.id – Demokrasi ekonomi dalam industri film di Indonesia dinilai belum terwujud. Pasalnya, para sineas masih kesulitan mendapatkan pendanaan untuk karya-karya film mereka. Kesejahteraan para sineas dan kru film di Indonesia pun masih timpang.

Hal tersebut dikemukakan Amrul Hakim dari Indonesian Film Cooperative. “Untuk itu, Indonesian Film Cooperative hadir sebagai platform bersama untuk meningkatkan kemandirian ekonomi para sineas dan kru film,” ujar Amrul dalam diskusi bertema Industri Film Butuh Koperasi, di Jakarta, Rabu (28/11/18).

Pengamat Koperasi Suroto pun melihat ada keinginan dari banyak komunitas film di Indonesia untuk memilih koperasi sebagai payung hukum seluruh kegiatannya. “Mereka ingin membangun kemandirian dan kedaulatan di bidang industri film di Indonesia,” tegas Suroto seraya mencontohkan koperasi film yang sukses di Inggris dan Korea Selatan.

Ia menyebutkan, tujuan diskusi ini adalah membangun persepsi yang sama dalam membangun koperasi untuk kepentingan industri film nasional. “Dengan koperasi itu tak hanya membangun ekonomi saja, melainkan juga membangun peradaban sebuah bangsa. Pasalnya, banyak persepsi di masyarakat kalau koperasi itu hanya simpan pinjam,” jelasnya.

Dengan prinsip koperasi, lanjut Suroto, para sineas dan kru film yang bergerak di sektor hulu (on farm) akan menciptakan layanan film (film services) seperti bioskop, festival dan promosi, serta marketing di sektor hilir (on farm) yang dimiliki bersama, dikelola bersama dan diawasi bersama-sama secara kolektif.

Sementara itu, Direktur Program Alkatara Vivian Idris menegaskan, kerjas ama dengan Kemenkop dan UKM menjadi sangat krusial karena terkait badan hukum dan pengurusan hak cipta (Haki).

“Bagi kami, badan hukum koperasi itu ruhnya Indonesia karena merupakan kerja tim dan gotong royong. Tugas Alkatara adalah fokus menumbuhkan bisnis perfilman di Indonesia,” kata Vivian.

Vivian menunjuk Indonesia bisa dijadikan pasar yang bagus karena memiliki penduduk 270 juta jiwa, 17 ribu pulau, hingga banyak cerita (rakyat) dan kisah yang tidak pernah ada habisnya. “Komunitas film di Indonesia jumlahnya terus meningkat. Semua komunitas memproduksi film. Lalu, produksinya itu mau dikemanakan, apakah untuk konsumsi komunitas sendiri, komersial, atau bioskop? Jadi, Alkatara itu ibarat biro jodoh antara film maker di Indonesia dengan kebutuhan industri,” terangnya.

Sedangkan Dimas Jayasrana dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengatakan bahwa modus ekonomi saat ini sudah ada di industri perfilman. Dimas mencontohkan di Batam ada komunitas film membuat film kemudian ditayangkan di layar tancap (non bioskop) dengan tiket seharga Rp15 ribu, mampu menyedot penonton sebanyak 12 ribu. “Sebenarnya, dunia kreatif itu terhubung erat dengan koperasi dan UKM, termasuk industri film,” imbuhnya.

Salah satu peserta, Manu Ginting dari Manu Project (Kota Medan, Sumut) mengakui bahwa badan hukum koperasi merupakan yang paling cocok bagi seluruh insan film. “Dalam skema koperasi, seluruh kru film bisa sekaligus menjadi pemodal dalam membuat sebuah film. Kita tidak bis bertumbuh sendiri, tapi harus kerjasama yang bisa tercipta dalam wadah koperasi,” kata Manu.

Peserta lain dari Komunitas Sangkanparan (Cilacap), Insan Pribadi, menyebutkan pembiayaan untuk membuat sebuah film dilakukan secara patungan dari seluruh anggota komunitas yang didominasi merupakan pelajar (SMK). “Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan pelatihan-pelatihan seperti kewirausahaan dan perkoperasian dari Kemenkop dan UKM,” aku Insan.

Sedangkan Rizky dari Pratama Pictures (Lombok, NTB) mengungkapkan, sejak berdiri pada 2014 komunitasnya sudah menghasilkan 25 film pendek dan lima film panjang. “Pendanaan sebuah film dilakukan secara gotong royong. Bahkan, tak jarang kita melibatkan bantuan dari masyarakat sekitar di lokasi shooting. Karena, biasanya kita membuat cerita film yang erat kaitannya dengan masyarakat Lombok. Para pemainnya pun melibatkan masyarakat Lombok. Kita sekaligus mengenalkan kepada masyarakat Lombok bagaimana membuat sebuah film,” pungkas Rizky.