Ketua Koperasi Sumber Mertha Buana, I Wayan Terima. Foto: Kemenkop.
Ketua Koperasi Sumber Mertha Buana, I Wayan Terima. Foto: Kemenkop.

Denpasar, MNEWS.co.id — Di tengah meningkatnya bisnis kopi beberapa tahun belakangan ini, mungkin kita akan beranggapan seluruh petani kopi sudah sejahtera.

Namun, faktanya masih banyak petani kopi yang didalam kemiskinan, apalagi petani dengan luas lahan yang terbatas seperti petani kopi di Banjar Jempanang, Desa Bledok Sidan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. Para tengkulak menguasai harga panen kopi yang membuat petani tidak berdaya.

Kondisi itu mendorong petani Desa Bledok Sidan membentuk koperasi Sumber Mertha Buana untuk melawan para tengkulak pada tahun 2012. Para petani yang sebelumnya hanya bisa menjual panennya ke tengkulak, kini bisa menjual ke koperasi dengan harga yang lebih tinggi.

“Dulu tengkulak membeli biji kopi merah arabika (red cherry) baru petik hanya seharga Rp 2.500/kg, sedangkan koperasi membeli seharga Rp 8.000-9.000/kg,” kata Ketua Koperasi Sumber Mertha Buana, I Wayan Terima yang ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.

Kehadiran koperasi cukup mempersempit ruang gerak para tengkulak untuk terus mempermainkan harga. Sekarang tengkulak jika ingin mendapatkan kopi dari petani harus membeli dengan harga yang relatif sama dengan koperasi.

“Bila tengkulak masih berani menekan harga, petani tidak akan mau menjual ke mereka. Petani lebih memilih menjual ke koperasi meski pembayarannya harus dicicil,” imbuh Wayan.

Koperasi Sumber Mertha Buana memiliki jumlah anggota 65 orang yang semuanya bekerja sebagai petani kopi. Luas lahan kopi milik petani rata-rata hanya 70 are. Koperasi memiliki tiga unit usaha, yakni penggilingan kopi, warung serba ada dan unit simpan pinjam. Unit simpan pinjam ini dibentuk untuk membantu memberikan kredit kepada petani. Biasanya para petani meminjam dari koperasi untuk biaya tanam dan kebutuhan lainnya dan akan dibayar jika sudah panen.

“Itu sebabnya unit simpan pinjam ini tidak diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi koperasi karena lebih banyak yang pinjam dari pada simpanan,” kata Wayan.

Kopi Kualitas Premium

Banjar Jempanang, Desa Bledok Sidan adalah salah satu penghasil kopi Arabika berkualitas premium. Berada di desa dataran tinggi, salah satu puncak tertinggi di Bali, para petani kopi di sana sudah menanam kopi secara turun temurun. Bahkan Badung kini dikenal sebagai penghasil kopi yang biasa disebut kopi plaga.

Koperasi Sumber Mertha Buana yang dibentuk sejak 2012, kini memproduksi kopi arabika 400-450 kg per bulan dalam bentuk green bean. Adapun kopi arabika bubuk sebanyak 10-15 kg per bulan.

Produksinya sudah memasuki supermarket di Bali, kafe-kafe yang tersebar di Bali, Jakarta dan daerah lainnya dengan merek Mertha Buana Coffee. Selain itu, produksinya juga sudah masuk ke gerai Starbuck.

“Secara kualitas kopi yang kami hasilnya sudah memenuhi standar, karena proses produksinya dilakukan secara teliti mulai dari pemetikan, sortir dan menggunakan sistem fermentasi yang baik,” kata Wayan.

Ia menjelaskan bagi para petani, bertanam kopi adalah bagian dari budaya yang terus dijaga agar kualitasnya tetap terjamin. Secara turun-temurun seluruh proses budidaya kopi di desa tersebut dilakukan secara organik. Petani tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Proses budidaya organik ini, kata Wayan, diharapkan segera mendapat pengakuan dengan terbitnya sertifikat organik.

Koperasi Sumber Mertha Buana tengah mencari peluang pasar baru agar bisa meningkatkan produksi kopi. Wayan mengakui persaingan dalam bisnis kopi kini sangat ketat meski peluang pasar tetap besar. Ini mendorong koperasi harus jeli mencari potensi pasar dan mengharapkan akan dapat melakukan ekspor.