Ilustrasi. Foto: MUI Lampung.
Ilustrasi. Foto: MUI Lampung.

Jakarta, MNEWS.co.id – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengkritisi pasal 44 ayat 1 Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Isi pasal itu menyangkut biaya sertifikasi halal yang dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Dengan kata lain, sertifikasi halal tidak gratis. Bagaimana dengan pelaku usaha yang tidak mampu secara ekonomi?

Ikhsan pun meminta negara yang membayarkannya, mengingat pada 2019 mendatang semua pelaku usaha diwajibkan untuk memiliki sertifikasi halal.

“Karena (pada Oktober 2019) negara mewajibkan sertifikasi halal bagi semua produk yang beredar, maka negara wajib membiayai sertifikasi halal bagi pelaku usaha yang kurang memiliki kemampuan,” tegas Ikhasn, dilansir dari Hidayatullah, dalam acara refleksi akhir tahun mengenai sertifikasi halal di Cikini, Jakarta, Selasa (11/12/2018).

Tidak mungkin, lanjutnya, pelaku usaha yang kekurangan bisa membayar sertifikasi halal. Ia mencontohkan, ada seorang pedagang gerobak makanan yang modalnya hanya 400 ribu. Untuk membayar sertifikasi halal, kata Ikhsan, pedagang itu harus menjual barang dagangan dan gerobaknya. Jadi mustahil buat sertifikasi halal.

Ia mengatakan, solusi yang paling tepat adalah, negara memberikan subsidi kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan dunia usaha. “Jadi jangan (hanya) mengatur, tetapi tidak bertanggung jawab,” ujar Ikhsan.

Menurutnya, negara yang mensubsidi UMKM dan melindungi konsumen, adalah wujud pengamalan pasal 29 UUD 1945 tentang perlindungan negara terhadap agama warganya. “Karena makan dan minum itu bagi umat Islam adalah ibadah. Mau makan baca ‘Bismillah’. Sudah makan, ‘Alhamdulillah’,” tutupnya.

Sebagaimana diketahui, untuk memperoleh sertifikasi halal, pelaku usaha harus mengirimkan sampel produknya beserta kelengkapan dokumen lain yang diperlukan, lalu akan diuji oleh tim khusus dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Hal ini berlaku untuk industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur.

Tahapan yang harus dilalui berdasarkan informasi dari LPPOM MUI, yaitu, memahami persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan SJH (Sistem Jaminan Halal) yang tercantum dalam HAS 23000. Kemudian, menerapkan SJH sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara lain: penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji ulang manajemen.

Barulah setelah itu pelaku usaha bisa menyiapkan dokumen untuk pengajuan sertifikasi halal, melakukan pendaftaran secara online, melakukan monitoring pra audit dan pembayaran akad sertifikasi. Baru kemudian audit akan dilaksanakan, dan masih harus dilakukan monitoring pasca audit. Untuk keterangan lebih lanjut bisa klik di sini

Sumber: Hidayatullah