Ilustrasi Gula. Foto: Chris Kresser.
Ilustrasi Gula. Foto: Chris Kresser.

Jakarta, MNEWS.co.id – Harga gula di pasaran yang perlahan merambat naik menimbulkan polemik tersendiri di kalangan masyarakat. Gula sebagai bahan pembuat makanan dan minuman bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu komposisi terpenting. Naiknya harga gula berarti akan mempengaruhi harga produk makanan dan minuman yang dijual.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, rendahnya produktivitas tebu memiliki keterkaitan erat dengan harga gula di pasaran. Saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Kondisi itu mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.

Ilman mengatakan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi. “Belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang ditanam yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal,” ujarnya dalam siaran pers dilansir dari Republika.co.id, Minggu (20/1/2019).

Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare pada 2017. Jumlah itu lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektar dan India yang sebesar 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan MNEWS, beberapa warung masih terpantau menjual gula dengan harga yang sesuai HET, yakni tidak lebih dari Rp 12.500,-. Harga gula pasir eceran terpantau masih dalam batas aman, sekalipun mengalami kenaikan. Gula pasir ¼ kilogram masih dalam kisaran Rp 4 ribu, sedangkan ½ kilogram dijual seharga Rp 7 ribu. Harga yang dipatok per kilogram dari agen sekitar Rp 12 ribu.

Lebih lanjut Ilman menuturkan, peningkatan produktivitas gula akan membantu pemerintah dalam menekan impor gula. Sebab, impor dapat dikurangi apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar.

“Tentunya dengan memiliki komoditas gula yang terjangkau dan tersedia secara lokal, baik produsen maupun konsumen sama-sama beruntung,” pungkasnya.

Ilman menambahkan, penekanan impor dan peningkatan produktivitas gula dalam negeri harus dilakukan secara beriringan. Sebab, apabila impor dikurangi dengan kondisi produksi gula yang belum stabil saat ini, justru berpotensi mengurangi peredaran gula di pasar. Pada akhirnya, kondisi ini bisa meningkatkan harga menjadi jauh lebih mahal lagi.

Seperti sebuah rantai, harga mahal menyebabkan konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian.

Ilman menekankan, mempertimbangkan penekanan impor gula bukan merupakan hal yang salah. Tapi, sebaiknya, pemerintah fokus pada peningkatan daya saing pabrik gula Indonesia dan kebijakan yang mendorong modernisasi pabrik gula. “Dua hal ini dapat menjadi salah satu langkah awal yang patut dipertimbangkan untuk menekan harga gula,” tutupnya.

Sumber: Republika