Ilustrasi. Foto: Unsplash.
Ilustrasi. Foto: Unsplash.

Jakarta, MNEWS.co.id – Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) menyarankan kepada pemerintah untuk menunda aturan pajak UMKM di e-commerce.

Saat ini, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik menuai kritik karena dianggap kontradiktif dengan misi Presiden Joko Widodo untuk membuat UMKM semakin naik kelas dengan go digital.

Ketua Akumindo, M. Ikhsan Ingratubun menyatakan, UMKM tidak menolak untuk terkena pajak, baik yang berjualan secara konvensional maupun melalui e-commerce atau media sosial lainnya. Akan tetapi, UMKM jangan sampai dianggap sebagai objek pajak yang “dikejar” oleh pembuat regulasi, dalam hal ini pemerintah. Menurut Ikhsan, faktanya penerimaan negara pada tahun 2018 melebihi target, yaitu 100,2 persen, dan sektor pajak memberikan kontribusi lebih kurang Rp 1350 Triliun.

“Pajak UMKM dari Rp 1350 Triliun tersebut hanya memberikan kontribusi Rp 3-4 Triliun, walau PPh final sudah diturunkan dari 1 menjadi 0,5 persen. Sebagian besar hasil pajak berasal dari perusahaan-perusahaan besar dari sektor migas,” tandas Ikhsan melalui pesan tertulisnya kepada MNEWS di Jakarta, pada Rabu (16/1/2019).

Ia melanjutkan, pemerintah telah mematok penerimaan negara dari pajak tahun 2019 sebesar 10,9 persen akan mudah tercapai dari sektor migas. Pasalnya, produksi minyak Indonesia meningkat pada tahun 2019 sebesar 240 ribu barel per hari, dengan 13 proyek hulu migas yang beroperasi tahun 2019.

“Dengan kata lain, penerimaan pajak dari sektor usaha-usaha besar sudah diprediksi dapat menutupi target penerimaan pajak 2019. Jadi solusi dari kami, buat nyaman dulu UMKM dan penyedia aplikasi di marketplace tahun ini. Penerapan PMK 210 baiknya ditunda dan dikaji ulang,” pungkasnya.

Satu sisi, lanjut Ikhsan, Presiden Jokowi meminta para aplikator merangsang UMKM masuk dan berjualan lewat e-commerce, namun di sisi lain Ibu Sri Mulyani menjerat dengan pajak. Maka dari itu, kebijakan PMK ini menjadi tidak sinkron antara satu dengan yang lain. Kebijakan yang cenderung tergesa-gesa ini sebaiknya diatasi dengan beberapa opsi solusi, salah satunya merangsang UMKM untuk masuk e-commerce dengan insentif perpajakan.

Ikhsan mencontohkan, benchmarking UMKM di e-commerce yang paling baik ada di China, Korea Selatan, dan Kanada, dengan memberikan insentif perpajakan bagi yang akan masuk ke e-commerce. Terlebih, barang-barang yang diproduksi adalah produk kearifan lokal. Fasilitas insentif pajak ini, menurut ahli perpajakan, bisa dalam bentuk pengecualian dari pengenaan pajak, penangguhan pajak, pengurangan dasar pengenaan pajak, hingga penurunan tarif pajak seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

“Saran kami, sebaiknya buat nyaman pelaku UMKM dalam waktu satu tahun ini untuk berbondong-bondong masuk dalam e-commerce, baru kemudian mulai diatur terkait pajak dengan keberpihakan. Produk-produk impor juga dibedakan pajaknya dengan produk-produk yang berasal dari kearifan lokal,” tutupnya.

Dengan demikian, pelaku UMKM bisa makin bersemangat untuk mulai go digital melalui e-commerce sembari mempertahankan usahanya di tengah ketatnya persaingan pasar global.