Jakarta, MNEWS.co.id – Pembiayaan perbankan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sektor industri pengolahan cenderung melambat pada Februari-Desember 2018. Perlambatan terbesar terjadi pada awal kuartal II/2018, sebesar 10,87% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Dilansir dari Bisnis.com, Kementerian Perindustrian menyatakan perlambatan tersebut salah satunya disebabkan oleh bertambahnya instrumen pada unit usaha industri kecil dan menengah dalam mendapatkan pembiayaan.
Beberapa instrumen yang dimaksud adalah program Membina Keluarga Sejahtera (Mekar) oleh PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pembiayaan Ultra Mikro (Umi) oleh Kementerian Keuangan.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartato mengatakan instrumen tersebut tidak menjadikan kredit usaha rakyat (KUR) yang diberikan perbankan kalah menarik, melainkan justru melengkapi fasilitas KUR. Dia mengklaim jumlah IKM yang menerima KUR perbankan terus bertambah, walau nilai yang diberikan melambat.
“Nanti penyaluran kredit UMKM kepada IKM akan kami percepat. Untuk tahun lalu, namanya usaha ada ‘lampu merah’-nya,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartato.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Gati Wibawaningsih menganalisis perlambatan kredit UMKM kepada industri pengolahan tersebut terjadi karena telah ada instrumen yang dapat memberikan pembiayaan dengan syarat yang lebih fleksibel seperti perusahaan teknologi finansial. Namun untuk evaluasi lebih lanjut, pihaknya akan menugaskan evaluator untuk mengidentifikasi.
Dia menuturkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan dukungan kepada kementerian terkait permodalan kepada unit IKM. Otoritas akan mulai memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai pendanaan usaha dalam program e-Smart IKM sepanjang tahun ini.
Gati mengataan tantangan IKM pada tahun ini justru terkait dengan ketersediaan bahan baku. Menurutnya, sebagian investor asing memiliki intensi untuk datang, tetapi pihaknya tidak dapat mengintervensi untuk mengakselerasi proses tersebut mengingat ketersediaan bahan baku untuk IKM memiliki hubungan business-to-business (B2B).
“Ada beberapa hal yang masih menjadi ganjalan, saya masih belum bisa buka di sini, karena ini benar-benar B2B. Pemerintah diminta ikut [membantu] supaya nanti biaya produksinya lebih renda. Karena kalau bikin industri pendukung tapi lebih mahal [biayanya] dari impor, ya sama saja bohong kali ya,” katanya.
Gati mengatakan pangsa pasar IKM terjebak di posisi 27%. Pihaknya akan menggenjot pangsa pasar IKM melalui pasar digital dengan membangun toko virtual.
Sumber: Bisnis.com (Andi M. Arief/Galih Kurniawan)