Jakarta, M-NEWS.co.id – Terhitung mulai 1 Juli 2018, aturan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) final bagi UMKM sebesar 0,5% mulai diberlakukan. Aturan final ini merupakan revisi dari kebijakan sebelumnya yang mengharuskan pelaku UMKM membayar PPh sebesar 1%. Ada sejumlah kriteria dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2018 ini, apa saja?
Kriteria WP (Wajib Pajak) yang dikenakan PP No. 23 Tahun 2018 ini adalah pelaku UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Jangka waktu pengenaannya juga berbeda-beda sesuai dengan beberapa kategori, yaitu 7 tahun bagi WP perseorangan; 4 tahun bagi WP Badan dalam bentuk koperasi, persekutuan komanditer, dan firma; serta 3 tahun untuk perseroan terbatas.
Perhitungan omzet yang menjadi parameter tarif PPh 0,5% berupa omzet per bulan. Apabila omzet WP melebihi Rp 4,8 miliar, maka tarif yang sama sebesar 0,5 persen akan tetap dikenakan sampai dengan akhir tahun pajak WP tersebut selesai.
Peraturan ini juga mewajibkan pelaku UMKM untuk menyusun pembukuan terkait aktivitas keuangannya, dengan pengecualian usaha mikro yang bersifat pribadi tidak wajib membuat pembukuan selama maksimal 7 tahun sejak terdaftar sebagai WP. Hal ini bertujuan agar pelaku UMKM dapat mengakses peningkatan modal dari perbankan dengan pembukuan yang rapi, mengingat selama ini banyak pelaku UMKM yang hanya memiliki catatan keuangan sederhana, bahkan tidak memiliki catatan keuangan sama sekali.
Ditetapkan pada 8 Juni 2018 lalu, PP No. 23 Tahun 2018 merevisi aturan yang lama, yakni PP No. 46 Tahun 2013. Penurunan PPh ini bertujuan untuk memudahkan pelaku UMKM dalam membayar pajak serta meningkatkan perekonomian negara. Namun demikian, penurunan PPh final 0,5% ini juga ditengarai akan mengurangi jumlah penerimaan pajak negara sebesar 1 –1,5 triliun rupiah.
Selain itu, PPh 0,5% tidak hanya diperuntukkan bagi UMKM konvensional saja, tetapi juga pelaku UMKM online. Pasalnya, lalu lintas perdagangan online sebagian besar berasal dari industri UMKM.
Dilansir dari wartaekonomi.co.id, Novani Karina Saputri selaku Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan bahwa PPh 0,5% bagi pelaku UMKM terbilang rasional dan tidak menyulitkan. Ia juga beranggapan bahwa potensi PPh dalam sistem perdagangan online terbilang sangat besar.
“Kalau pemerintah menyasar perdagangan online, pemerintah tidak hanya membicarakan mengenai online retail, tetapi juga mencakup online platform dan classified ads yang juga melakukan transaksi melalui mekanisme elektronik. Belum lagi e-commerce lintas negara dan penjualan yang tidak berupa barang seperti penjualan karakter online game, koran/majalah online dan lain-lain,” ujar Novani.
Diharapkan ke depannya tarif PPh 0,5% ini dapat meningkatkan kepatuhan pajak dari pelaku UMKM, serta mengembangkan dunia kewirausahaan tanpa adanya kekhawatiran beban pajak yang tidak rasional. (DFS)