Ilustrasi. Foto: Photo by Min An from Pexels.
Ilustrasi. Foto: Photo by Min An from Pexels.

Jakarta, MNEWS.co.id – Target swasembada bawang putih yang dicanangkan pemerintah pada 2021 terkendala banyak keterbatasan. Salah satunya adalah semakin terbatasnya lahan. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian karena cuaca dan kondisi tanah yang tidak produktif juga ikut memengaruhi tercapainya target swasembada ini.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, pemerintah juga perlu meninjau ulang pemberlakuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 16 tahun 2017 yang menyatakan adanya kewajiban bagi importir bawang putih untuk menanam bawang putih di dalam negeri sebesar 5% dari total impor yang diajukan. Pemberlakuan peraturan ini tidak efektif karena keterbatasan lahan yang sudah disebutkan sebelumnya.

Semakin terbatasnya luas lahan dan alih fungsi lahan yang sudah banyak terjadi menyebabkan sulitnya menemukan lahan dengan ketinggian tertentu dalam iklim tertentu. Bawang putih harus ditanam di lahan yang berada di ketinggian antara 700 meter hingga 1.300 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian tertentu, luas lahan semakin terbatas.

“Kita harus mengakui bahwa produksi lokal belum mencukupi permintaan yang ada, sehingga impor tetap harus dilakukan. Di sisi lain, pemerintah juga tetap konsisten mempertahankan prinsip kehati-hatiannya dalam mengeluarkan kebijakan. Namun ada kalanya, aturan-aturan tertentu dapat menghambat dilakukannya impor yang sebenarnya dibutuhkan,” jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (22/5/2019).

Untuk itu, sebaiknya pemerintah bisa menciptakan alternatif kebijakan impor khusus tanpa mengikuti regulasi berlaku yang memberatkan—seperti wajib tanam, dapat dilakukan terutama untuk yang sifatnya untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Hal ini penting karena saat program yang sifatnya mendorong produksi tidak bisa memberikan hasil produksi yang mencukupi secara instan, perlu dilakukan perlakuan khusus seperti kebijakan impor tadi.

Impor khusus ini bersifat sebagai bentuk mitigasi dari gejolak harga yang mungkin terjadi. Impor khusus yang sifatnya dilakukan pada saat-saat tertentu ini diharapkan bisa dilakukan tanpa menghadapi birokrasi yang menyulitkan, misalnya seperti wajib tanam tersebut. Karena sifatnya mitigasi, lanjut Ilman, pemerintah dapat terlibat untuk melakukan kalkulasi dari segi waktu importasi dan juga jumlah yang sekiranya diperlukan untuk menstabilkan kenaikan harga yang tidak terkendali.

Pemerintah dapat melibatkan berbagai pihak, dari Bulog maupun swasta, untuk melakukan importasi tersebut. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan izin impor dan kekhawatiran impor akan membunuh petani lokal, peran satgas pangan dapat diperkuat untuk mengawasi importasi khusus ini.