Koleksi kain tenun NTT “Mera Bura” dalam theatrical fashion show di Menara Digitaraya, Jakarta, (13/8/2019). Foto: MNEWS.
Koleksi kain tenun NTT “Mera Bura” dalam theatrical fashion show di Menara Digitaraya, Jakarta, (13/8/2019). Foto: MNEWS.

Jakarta, MNEWS.co.id — Pelestarian budaya lokal melalui teknologi finansial, itulah tagline yang diusung oleh Copa de Flores dan Modal Rakyat dalam rangka menyambut hari kemerdekaan yang akan datang sebentar lagi.

Mera Bura yang artinya “Merah Putih” dalam bahasa Maumere, tidak hanya menyebutkan simbol kebangsaan Indonesia. Lebih dari itu, Mera Bura merepresentasikan budaya dan segala dinamika sosial yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Mera Bura merupakan project kerja sama Copa de Flores dan fintech Modal Rakyat yang merilis koleksi kain tenun khas NTT edisi khusus kemerdekaan.

Maria Gabriella Isabella, Founder & CEO Copa de Flores, menggagas usaha ini bersama ketujuh teman-teman sekolahnya di tahun 2015. Ia ingin menciptakan sebuah social enterprise di industri kreatif yang bisa menjawab berbagai permasalahan sosial selama ini.

“Alasan saya membentuk Copa de Flores ini ada tiga. Pertama, karena saya berasal dari Flores NTT, saya sedih melihat daerah di NTT yang masih rendah tingkat ekonominya, khususnya bagi perempuan. Kedua, saya merasakan adanya persepsi gender yang bias. Perempuan sering dianggap sebagai nomor dua. Kawan-kawan perempuan saya masih merasa inferior. Ketiga, saya juga merasa sedih karena banyak yang sudah tidak mengenakan budaya lokal,” papar nona yang akrab disapa Bella, dalam acara Mera Bura di Menara Digitaraya, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Maria Gabriella Isabella, Founder & CEO Copa de Flores dalam acara Mera Bura di Menara Digitaraya, Jakarta, Selasa (13/8/2019). (Foto: Dewi/MNEWS)

 

Menurut Bella, anak-anak muda di Flores banyak yang enggan menenun. Hal ini berdampak pada harga kain tenun yang semakin mahal, karena beberapa motifnya hanya bisa ditenun oleh mama-mama usia 70 tahun ke atas. Akibatnya, perekonomian daerah pun semakin rendah karena kurangnya sirkulasi yang dapat memaksimalkan potensi ekonomi daerah melalui tenun ikat.

Berdasarkan data dari Copa de Flores, NTT menjadi provinsi termiskin nomor 2 di Indonesia. Tingkat partisipasi perempuan di sana pun tergolong rendah. Masalah yang paling mendasar ternyata bukan kemiskinan, melainkan pola pikir masyarakat NTT yang merasa bahwa mereka miskin.

“Permasalahan paling darurat adalah NTT menjadi daerah dengan human trafficking tertinggi. Kami bertekad, bukan hanya memproduksi kain tenun ikat, tetapi tenun sebagai sebuah media terapi visual bagi para penenun itu sendiri, khususnya yang menjadi penyintas kasus human trafficking dan kekerasan seksual,” imbuh Bella.

Tidak sendirian, Copa de Flores juga bergandengan tangan dengan Modal Rakyat, fintech yang mengedepankan motto “dari rakyat, untuk rakyat”. Modal Rakyat memiliki misi yang sejalan, untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan menciptakan social impact yang lebih besar.

Co-Founder & CEO Modal Rakyat Stanislaus M.C Tandelilin memaparkan, dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terdapat kebutuhan kredit UMKM sebesar Rp 1700 T per tahun di Indonesia. Saat ini lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi sekitar Rp 700 T dari kebutuhan tersebut, sehingga ada kekurangan pendanaan bagi UMKM.

Co-Founder & CEO Modal Rakyat Stanislaus M.C Tandelilin dalam acara Mera Bura di Menara Digitaraya, Jakarta, Selasa (13/8/2019). (Foto: Dewi/MNEWS)

 

“Kami membidik usaha kecil dan mikro, mulai dari Rp 25 ribu sudah bisa mendanai UMKM. Modal Rakyat tidak hanya sekadar menyalurkan dana, tetapi juga memberikan dampak sosial bagi peminjam dan juga pemodal,” tandas Stanislaus.

Kolaborasi ini menjadi penanda bangkitnya mama-mama penenun dari NTT untuk melawan kemiskinan juga ketidakberdayaan kaum perempuan di timur Indonesia. Seperti merah putih yang berani dan suci, Copa de Flores ingin pengguna kain tenun ini tidak kehilangan cinta. Karena mama-mama yang menenun ini pada dasarnya mencurahkan cinta sucinya dalam sehelai kain.